Hari-hari ini media massa ramai memberitakan seorang dokter di RS di Sekayu yang mendapat kata-kata kasar dari keluarga pasien, bahkan ada kekerasan fisik memaksa membuka masker. Ada tiga hal tentang hal ini.
Pertama, dokter bertugas menangani kesehatan pasiennya, dan dia akan berupaya maksimal agar penanganannya memberi hasil terbaik. Tentu jelas salah besar kalau ada tindakan kekerasan (verbal atau fisik) pada orang yang sedang menangani kesehatan kita atau keluarga kita.
Ke dua, dalam video yang beredar terlihat keluarga pasien “marah-marah” tentang pemeriksaan dahak untuk diagnosis tuberkulosis (TB). Penggunaan pemeriksaan dahak untuk mendiagnosis tuberkulosis adalah berdasar penelitian ilmiah internasional yang bereputasi tinggi. Tata cara mendiagnosis TB dengan dahak ada dalam panduan WHO yang diikuti seluruh negara di dunia, ada juga dalam panduan Kementerian Kesehatan RI dan organisasi profesi kita seperti Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Jadi ini prosedur berdasar ilmiah, juga berdasar rekomendasi internasional dan nasional, dan yang lebih penting lagi adalah bhw pemeriksaan dahak itu adalah demi kepentingan pasiennya. Jadi amat salah kalau dokter sampai harus di kata-katai kasar karena melakukan pemeriksaan dahak untuk diagnosis tuberkulosis.
Ke tiga, kejadian di RS di Sekayu ini kembali menunjukkan bahwa dokter dan tenaga kesehatan lain menghadapi risiko kekerasan dalam menjalankan tugasnya. Ada dua yang perlu segera dilakukan. Ke satu tentu tindakan oleh aparat kepolisian. Ke dua, yang jauh lebih penting adalah dilakukannya kegiatan nyata pemerintah dan penentu kebijakan publik untuk melindungi dokter dalam melakukan kerja profesinya.
Kata-kata klise adalah semoga kejadian kekerasan pada dokter (dan tenaga kesehatan lain) dalam menjalankan profesinya jangan berulang lagi. Perlu tindakan nyata, Stop Kekerasan !!!
Prof Tjandra Yoga Aditama
Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI)