Skandal Penyalahgunaan Bansos di Indonesia: Analisis Penyebab, Tanggung Jawab, dan Solusi Hukum

Pendahuluan
Bantuan sosial (bansos) merupakan salah satu pilar utama kebijakan sosial pemerintah Indonesia untuk menanggulangi kemiskinan dan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat rentan, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 34 ayat (1) UUD 1945. Program seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), dan Bantuan Sosial Tunai (BST) dirancang untuk memberikan jaring pengaman sosial bagi masyarakat miskin ekstrem. Namun, laporan terbaru dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada 2025 mengungkap fakta memalukan: dari 10 juta rekening penerima bansos, 27.932 di antaranya adalah pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), 7.479 dokter, dan lebih dari 6.000 manajer.

Lebih jauh, 571.410 penerima bansos terdeteksi menggunakan dana tersebut untuk judi online, dengan total transaksi mencapai Rp957 miliar, terutama di Jawa Barat. Fenomena ini mencerminkan kegagalan sistemik dalam penyaluran bansos, yang tidak hanya merugikan negara tetapi juga mengkhianati prinsip keadilan sosial.

Esai ini akan menganalisis penyebab masalah, pihak yang paling bertanggung jawab dengan fokus mendalam pada Kementerian Sosial (Kemensos), serta mengusulkan solusi dan penegakan hukum untuk mengatasi skandal ini.

Penyebab Fundamental Skandal Penyalahgunaan Bansos
Skandal ini tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil dari sejumlah kelemahan sistemik yang saling terkait.

Berikut adalah analisis mendalam tentang penyebab utama:

Kelemahan Data dan Verifikasi
Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), yang dikelola oleh Kemensos, menjadi tulang punggung penyaluran bansos. Namun, DTKS memiliki kelemahan struktural: data sering kali usang, tidak diperbarui secara real-time, dan kurang terintegrasi dengan basis data lintas lembaga seperti BPJS Ketenagakerjaan, Direktorat Jenderal Pajak, atau PPATK. Akibatnya, individu dengan profesi mapan seperti pegawai BUMN, dokter, atau manajer masih tercatat sebagai penerima bansos, meskipun mereka tidak memenuhi kriteria kemiskinan ekstrem sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 1 Tahun 2018. Selain itu, verifikasi lapangan oleh pemerintah daerah (Pemda) sering kali tidak memadai, memungkinkan manipulasi data seperti pendaftaran penerima fiktif atau NIK tidak valid. Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2021 mencatat kerugian negara Rp6,93 triliun akibat penyaluran bansos yang salah sasaran, menunjukkan bahwa masalah ini bukanlah hal baru.

Korupsi dan Maladministrasi
Penyalahgunaan bansos juga terkait dengan praktik korupsi dan maladministrasi, baik di tingkat pusat maupun daerah. Oknum pejabat Kemensos dan aparat lokal kerap memanfaatkan wewenang untuk memalsukan data atau memotong dana bansos. Kasus korupsi bansos pada 2020-2021, yang melibatkan mantan Menteri Sosial Juliari Batubara, menjadi contoh nyata bagaimana dana bansos dialihkan untuk kepentingan pribadi atau politik. Selain itu, bansos sering dipolitisasi, seperti digunakan untuk kepentingan kampanye pilkada di daerah seperti Jawa Barat dan Lampung, sebagaimana ditemukan oleh KPK dan Ombudsman RI.

Rendahnya Literasi Keuangan Penerima
Penyalahgunaan bansos untuk judi online, terutama di Jawa Barat, menunjukkan rendahnya literasi keuangan di kalangan penerima. PPATK melaporkan bahwa 78.000 penerima bansos aktif bermain judi online pada semester pertama 2025, dengan 603.999 keluarga penerima manfaat (KPM) terlibat dalam transaksi mulai dari ratusan ribu hingga lebih dari Rp100 juta. Bahkan, 56 rekening penerima bansos memiliki saldo di atas Rp50 juta, yang jelas bertentangan dengan profil penerima bansos. Fenomena ini diperparah oleh maraknya platform judi online ilegal yang memanfaatkan kerentanan masyarakat miskin.

Lemahnya Pengawasan dan Koordinasi Lintas Lembaga
Kurangnya koordinasi antara Kemensos, Pemda, PPATK, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan kepolisian menyebabkan minimnya pengawasan terhadap penyaluran dan penggunaan bansos. Ombudsman RI mencatat bahwa penyaluran bansos yang tidak tepat sasaran merupakan bentuk maladministrasi, termasuk penyimpangan prosedur dan penundaan penyaluran. Selain itu, mekanisme pengawasan internal Kemensos, seperti Inspektorat Jenderal, dan eksternal seperti BPK, belum cukup efektif mencegah penyelewengan.

Pihak yang Paling Bertanggung Jawab:

Fokus pada Kementerian Sosial
Di antara semua pihak yang terlibat, Kementerian Sosial memikul tanggung jawab terbesar karena peran sentralnya dalam pengelolaan DTKS, verifikasi data, dan pengawasan bansos.

Berikut adalah analisis mendalam tentang kegagalan Kemensos dan dampaknya:

Kelemahan Pengelolaan DTKS
DTKS adalah fondasi penyaluran bansos, namun sistem ini memiliki sejumlah kelemahan:

Data Usang dan Tidak Terintegrasi:
DTKS tidak diperbarui secara real-time, sehingga individu yang telah meningkat status ekonominya tetap tercatat sebagai penerima. Integrasi dengan data lintas lembaga seperti PPATK atau OJK minim, sehingga profesi atau penghasilan penerima tidak terdeteksi.

Manipulasi Data:
Laporan BPK menunjukkan adanya NIK fiktif atau penerima yang sudah meninggal dalam DTKS, menandakan lemahnya validasi data. Oknum petugas Kemensos atau aparat desa sering kali memasukkan data tidak valid untuk kepentingan tertentu.

Kapasitas Teknologi Terbatas:
DTKS belum memanfaatkan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) atau analitik data untuk mendeteksi anomali, seperti rekening dengan saldo besar atau transaksi mencurigakan.

Lemahnya Verifikasi Data
Kemensos bergantung pada Pemda untuk verifikasi lapangan, tetapi proses ini sering kali tidak konsisten. Instruksi Menteri Sosial Saifullah Yusuf pada 2025 untuk ground-checking triwulan ketiga menunjukkan bahwa verifikasi sebelumnya tidak memadai. Kurangnya sumber daya manusia dan pelatihan bagi petugas verifikasi di tingkat lokal memperburuk masalah, memungkinkan individu seperti dokter atau manajer lolos sebagai penerima.

Minimnya Pengawasan Pasca-Penyaluran
Kemensos tidak memiliki mekanisme efektif untuk memantau penggunaan dana bansos setelah disalurkan. Temuan PPATK tentang penggunaan bansos untuk judi online menunjukkan tidak adanya pelacakan transaksi atau edukasi wajib bagi penerima. UU 13/2011 mewajibkan penerima menggunakan bansos untuk kebutuhan dasar, tetapi Kemensos tidak memiliki sistem pelaporan atau sanksi untuk memastikan kepatuhan.

Korupsi dan Maladministrasi Internal
Kasus korupsi bansos 2020-2021 menunjukkan adanya kelemahan internal dalam Kemensos, termasuk penyalahgunaan wewenang oleh pejabat tinggi. Meskipun kasus ini telah ditangani, temuan PPATK 2025 menunjukkan bahwa reformasi internal belum sepenuhnya efektif. Inspektorat Jenderal Kemensos belum mampu mencegah praktik maladministrasi seperti penyaluran bansos kepada pihak yang tidak berhak.

Pihak Lain yang Ikut Bertanggung Jawab
Meskipun Kemensos adalah pihak utama, beberapa institusi dan pihak lain juga berkontribusi pada masalah ini:

Pemerintah Daerah (Pemda):
Pemda, terutama di Jawa Barat, gagal melakukan verifikasi lapangan yang memadai, memungkinkan data DTKS tidak akurat. Politisasi bansos di tingkat lokal juga memperparah masalah.

  1. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri):
    Kemendagri kurang efektif dalam mengawasi Pemda dan mengintegrasikan data NIK dengan DTKS untuk mencegah penerima fiktif.
  2. PPATK dan OJK:
    Kedua lembaga ini memiliki peran preventif dalam mendeteksi transaksi mencurigakan, tetapi koordinasi dengan Kemensos masih kurang proaktif.
  3. Kepolisian:
    Satuan siber kepolisian belum cukup agresif menindak platform judi online yang menyerap dana bansos.
  4. Penerima Bansos yang Tidak Jujur:
    Individu seperti pegawai BUMN atau dokter yang memalsukan data untuk menerima bansos turut bertanggung jawab.
  5. Penyedia Platform Judi Online:
    Platform ilegal ini memanfaatkan kerentanan penerima bansos, terutama di Jawa Barat, untuk menarik transaksi.

Dampak Skandal Penyalahgunaan Bansos
Skandal ini memiliki konsekuensi serius:

Ketidakadilan Sosial:
Bansos yang seharusnya menyasar masyarakat miskin ekstrem malah diterima oleh kelompok yang tidak berhak, mengurangi jatah bagi yang membutuhkan.
Kerugian Keuangan Negara: Penyaluran bansos yang salah sasaran dan penyalahgunaan untuk judi online menyebabkan kerugian miliaran rupiah, merujuk pada temuan BPK sebelumnya.

Erosi Kepercayaan Publik:
Skandal ini merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, terutama karena bansos dianggap sebagai wujud nyata keadilan sosial.

Dampak Sosial Negatif:
Penggunaan bansos untuk judi online memperburuk kondisi ekonomi penerima, menciptakan lingkaran kemiskinan baru, dan meningkatkan risiko kriminalitas.

Solusi untuk Mengatasi Masalah
Untuk mengatasi skandal ini, diperlukan reformasi menyeluruh dengan fokus pada perbaikan peran Kemensos dan koordinasi lintas lembaga. Berikut adalah langkah-langkah spesifik:

Reformasi Pengelolaan DTKS

Pembaruan Real-Time: Kemensos harus mengembangkan DTKS berbasis cloud dengan pembaruan data real-time, mirip sistem e-KTP Kemendagri. Integrasi dengan data pajak, BPJS Ketenagakerjaan, dan PPATK dapat mendeteksi profesi atau penghasilan penerima.

Analitik Data dan AI: Gunakan kecerdasan buatan untuk mengidentifikasi anomali, seperti rekening dengan saldo besar atau transaksi judi online.

Transparansi Data: Publikasikan data penerima bansos secara anonim melalui portal terbuka untuk memungkinkan pengawasan publik, seperti pada aplikasi Cek Bansos.

Peningkatan Verifikasi
Verifikasi Lintas Lembaga:
Kemensos harus bekerja sama dengan PPATK, OJK, dan Direktorat Jenderal Pajak untuk memverifikasi status ekonomi penerima sebelum penyaluran.

Peningkatan Kapasitas Petugas:
Latih petugas verifikasi di tingkat lokal dan alokasikan anggaran untuk ground-checking rutin setiap triwulan.

Mekanisme Pelaporan Publik: Perluas fungsi aplikasi Cek Bansos agar masyarakat dapat melaporkan penerima yang tidak layak, dengan jaminan anonimitas.

Pengawasan Pasca-Penyaluran

Pelacakan Transaksi:

Koordinasikan dengan PPATK untuk memantau transaksi rekening penerima bansos secara berkala, dengan pemblokiran rekening yang menunjukkan aktivitas mencurigakan.

Edukasi Literasi Keuangan:
Luncurkan program pendampingan wajib bagi penerima bansos, dengan fokus pada penggunaan dana untuk kebutuhan dasar. Pendamping PKH dapat dilatih untuk memberikan edukasi ini.

Sanksi Administratif: Terapkan pencabutan bansos bagi penerima yang menyalahgunakan dana, dengan mekanisme banding untuk memastikan keadilan.

Pemberantasan Korupsi Internal

Audit Internal Ketat:
Perkuat Inspektorat Jenderal Kemensos untuk audit rutin terhadap proses penyaluran bansos.

Whistleblower System:
Bangun sistem pelaporan internal yang aman bagi pegawai Kemensos untuk melaporkan penyelewengan.

Koordinasi dengan KPK:
Libatkan KPK untuk investigasi mendalam terhadap oknum pejabat yang terlibat dalam manipulasi data.

Koordinasi Lintas Lembaga

Pemda:
Wajibkan Pemda melakukan verifikasi lapangan setiap triwulan, dengan sanksi administratif seperti pemotongan dana alokasi umum (DAU) bagi yang lalai.

Kemendagri:
Perketat pengawasan terhadap Pemda dan integrasikan data NIK dengan DTKS.

PPATK dan OJK:
Lakukan skrining rekening penerima bansos secara preventif dan blokir rekening yang terindikasi digunakan untuk judi online.

Kepolisian:
Percepat penindakan terhadap platform judi online dan pelaku jual-beli rekening, terutama di Jawa Barat.

Penegakan Hukum dan Sanksi
Penegakan hukum harus dilakukan secara tegas untuk memberikan efek jera:

Kelalaian Distribusi Bansos (Kemensos dan Pemda):
Jika terbukti ada maladministrasi, pejabat dapat dijerat dengan Pasal 11 Peraturan Ombudsman Nomor 48 Tahun 2020. Jika melibatkan korupsi, Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berlaku (pidana penjara 1-20 tahun, denda Rp50 juta-Rp1 miliar).

Penerima Tidak Jujur:
Individu yang memalsukan data untuk menerima bansos dapat dihukum berdasarkan Pasal 11 ayat (3) UU 13/2011 (pidana penjara maksimal 2 tahun, denda Rp50 juta).

Penyalahgunaan untuk Judi Online:
Penerima yang menggunakan bansos untuk judi online dapat dijerat dengan Pasal 427 KUHP Baru (pidana penjara maksimal 3 tahun, denda Rp50 juta) atau Pasal 27 ayat (2) UU ITE untuk jual-beli rekening (pidana penjara maksimal 10 tahun, denda Rp10 miliar).

Penyedia Judi Online:
Pelaku usaha judi online dapat dijerat dengan Pasal 43 ayat (2) UU 13/2011 (denda maksimal Rp750 juta) atau Pasal 45 ayat (2) UU ITE (pidana penjara maksimal 6 tahun, denda Rp1 miliar).

Kesimpulan
Skandal penyalahgunaan bansos yang terungkap pada 2025 adalah cerminan kegagalan sistemik dalam pengelolaan data, verifikasi, dan pengawasan, dengan Kementerian Sosial sebagai pihak yang paling bertanggung jawab karena perannya dalam mengelola DTKS dan penyaluran bansos. Kelemahan DTKS, minimnya verifikasi, kurangnya pengawasan pasca-penyaluran, dan potensi korupsi internal telah menyebabkan ketidakadilan sosial, kerugian negara, dan erosi kepercayaan publik. Pemda, Kemendagri, PPATK, OJK, kepolisian, penerima tidak jujur, dan penyedia platform judi online juga berkontribusi pada masalah ini. Untuk mengatasi skandal ini, Kemensos harus mereformasi DTKS dengan teknologi modern, meningkatkan verifikasi lintas lembaga, memperketat pengawasan, dan memberantas korupsi internal. Koordinasi lintas lembaga dan penegakan hukum berdasarkan UU Tipikor, UU 13/2011, KUHP Baru, dan UU ITE harus dilakukan secara tegas.

Fenomena ini sangat ironis. Dana yang dimaksudkan untuk mengangkat derajat manusia justru disalahgunakan untuk memperdalam jurang kemiskinan. Dengan reformasi menyeluruh dan tanggung jawab bersama, bansos dapat kembali menjadi alat nyata untuk mewujudkan keadilan sosial di Indonesia.

 

Muhammad Akhyar Adnan
Dosen Prodi Akuntansi, FEB Universitas Yarsi