Bisnis (tijarah) merupakan salah satu komponen utama dalam sistem muamalah. Oleh sebab itu, Islam menganjurkan pemeluknya untuk menggeluti bidang ini secara profesional (itqan), sehingga dapat memberi manfaat bagi dirinya, dan orang lain secara umum. Sebuah bisnis dikatakan sebagai bisnis islam jika telah memenuhi beberapa prinsip-prinsip utama, yang dimana prinsip tersebut sesuai dengan etika bisnis islam. Untuk membangun kultur bisnis yang sehat, idealnya dimulai dari perumusan etika yang digunakan sebagai norma perilaku sebelum aturan (hukum).
Integritas kata yang berasal dari bahasa latin yaitu, “integer” yang artinya utuh dan lengkap. Oleh karena itu, integritas memerlukan perasaan batin yang menunjukkan keutuhan dan konsistensi karakter. Dalam pengertian singkat, integritas artinya konsep konsistensi tindakan, nilai, metode, ukuran, prinsip, harapan dan hasil. Dalam etika, integritas dianggap sebagai kejujuran dan kebenaran atau ketepatan tindakan pada diri seseorang. Pengertian integritas menurut para ahli juga tidak jauh-jauh dari definisi yang kami kemukakan sebelumnya. Salah satu ahli memberikan definisi integritas sebagai tiga hal yang selalu dapat kita amati yaitu, memenuhi komitmen, menunjukkan kejujuran, dan mengerjakan sesuatu dengan penuh konsisten.
Ada tiga arti integritas yang sudah tersebar di kalangan umum yaitu, (i) integritas memiliki arti jujur, (ii) kehidupan yang seimbang dan teratur dapat disebut sebagai kehidupan integritas, dan (iii) berada dalam integritas artinya melakukan segala sesuatu secara alami tanpa usaha yang berlebihan.
Salah satu strategi bisnis yang paling efektif yang diterapkan oleh Nabi Muhammad SAW adalah kejujuran dan integritas. Beliau selalu menjaga integritas dalam setiap transaksi bisnis yang dilakukan. Kejujuran adalah fondasi utama dalam membangun hubungan bisnis yang kokoh dan berkelanjutan. Dalam dunia bisnis modern, kejujuran adalah kunci untuk memenangkan kepercayaan pelanggan dan menjaga reputasi yang baik.
Jika menggunakan konsepnya Stephen Covey dalam bukunya “The Seven Habit, maka Rasulullah sesungguhnya memiliki habit atau karakter pebisnis, bahkan sejak ia muda usia. Sejak muda, Muhammad sudah proaktif seperti disebut Covey. Meski diberi sangu dan diurus paman dan kakeknya, Muhammad tak mau hanya diam saja. Ia merasa harus melakukan sesuatu. Dan benar saja, ia pun mulai menggembala kambing di usia 8 tahun, dan berdagang di usia 12 tahun.
Setelah diangkat menjadi Nabi, aktivitas bisnis Muhammad bisa dibilang dijalankan berdasarkan bimbingan wahyu dari Allah Swt. (profetic value).
Afzalul Rahman dalam buku Muhammad A Trader, mengungkapkan: Nabi Muhammad ﷺ adalah seorang pedagang yang jujur dan adil (fairplay) dalam membuat perjanjian bisnis dan tidak pernah membuat para pelanggannya mengeluh (komplain). Beliau selalu menepati janjinya dan dalam menyerahkan/mengirimkan barang-barang pesanannya selalu tepat waktu dan tetap mengutamakan kualitas barang yang telah dipesan dan disepakati sebelumnya.
Sahabat Utsman bin Affan selalu terjun langsung dalam mengelola bisnisnya. Hal ini dilakukan agar ia mengetahui kondisi dan permasalahan apa saja yang terjadi pada bisnisnya. Tidak hanya itu, Utsman bin Affan juga memiliki visi jangka panjang dalam mengembangkan bisnisnya. Ia
tidak hanya memikirkan keuntungan semata, tetapi juga cara bagaimana membangun reputasi yang baik dan mendapat dukungan serta dapat memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar.
Sebagai seorang pebisnis, Utsman bin Affan tidak pernah menipu pelanggannya dengan barang atau jasa yang buruk hanya demi keuntungan semata. Ia selalu menjaga stok barang dan memberikan layanan yang baik bagi pelanggannya. Utsman bin Affan berkomitmen untuk memberikan yang terbaik bagi pelanggan dan ia juga tidak pernah berbohong kepada pelanggan demi keuntungan yang lebih besar.
Dalam menjalankan bisnisnya, Utsman bin Affan tidak hanya berorientasi dalam memaksimalkan profit bisnisnya, ia juga turut memperhatikan kepentingan masyarakat dalam setiap keputusan bisnisnya. Utsman selalu memikirkan manfaat apa yang dapat dirasakan oleh masyarakat sekitar. Selain itu, ia juga dikenal sebagai orang yang dermawan dan suka membantu orang lain. Ia tidak hanya berbisnis untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk berbagi kepada sesama. Sebagai contoh, Utsman bin Affan memberikan pendanaan untuk mensponsori mobilisasi kaum muslimin dalam Perang Tabuk.
Abdurrahman bin Auf tidak pernah menggunakan modal dalam bentuk uang untuk membangun bisnisnya. Modal yang dia bawa hanya integritas moral dan sosial. Abdurrahman melakukan penawaran kepada sebuah toko untuk melakukan kerjasama dalam penyebaran dan pemasaran produk milik toko tersebut. Dia tidak meminta banyak pembagian hasil setelah profit toko berhasil untung, tapi justru itu yang membuat dia mendapatkan banyak keuntungan karena pemilik toko merasa terbantu untuk meningkatkan penjualan toko mereka.
Jika kita memahami dengan baik, Abdurrahman bin Auf ingin mengajarkan kepada orang-orang untuk menerapkan hubungan kemitraan bisnis dengan orientasi integritas yang baik. Ketika mitra bisnis membutuhkan solusi pemasaran dan penyebaran produk toko, Abdurrahman dengan senang hati bisa membantu mitranya dalam meningkatkan penjualan.
Dalam pandangannya, Kiyosaki mengingatkan untuk berhasil di bisnis pemasaran jaringan, sebaiknya motivasi utama bergabung dengan bisnis ini adalah untuk membantu diri sendiri sebagai alasan pertama dan membantu orang lain sebagai alasan kedua. Karena menurut Kiyosaki, kebanyakan orang bergabung hanya untuk mencari uang. Dan kalau mereka tidak mendapat uang dalam beberapa bulan atau tahun pertama, mereka menjadi patah semangat, berhenti dan sering kali menyebarkan kejelekan tentang industri pemasaran jaringan. Kiyosaki juga menambahkan, ‘keunggulan bisnis ini tidak diukur dengan seberapa banyak uang anda peroleh, tetapi berapa banyak orang yang anda bantu dan berapa banyak hidup orang yang anda ubah. Karena memang ironinya, semakin banyak orang yang anda bantu mengubah hidupnya, anda semakin kaya.
Berdasarkan Perjalanan Bisnis Rasulullah dan Sahabat di atas maka bisa dijadikan catatan penting bagi Nazir dalam mengelola aset dengan pendekatan bisnis. Hal utama yang menjadi perhatian (1) Nazir harus punya karakter bisnis dalam memgelola dan mengembangkan aset wakaf, karakter bisnis yang akan membawa optimalisasi pengelolaan aset wakaf (2) Nazir harus memiliki integritas dan kejujuran, nilai kejujuran akan menjaga keberlanjutan pengelolaan aset wakaf (3) orientasi berbasis profit dan manfaat, Nazir tetap harus memperhatikan kemanfaat harta wakaf
bagi mauqufalaih dan tidak semata berorientasi profit (4) Model kerjasama dan kemitraan harus dilakukan Nazir seperti yang dilakukan sahabat Abdurrahman bin Auf , jangan pernah nazir berfikir sendiri dalam pengelolaan aset tetapi harus membangun sinergi, buatlah jaringan kerjasama sebanyak banyak untuk memperluas protfolio aset wakaf.
Nurul Huda
Wakil Rektor Universitas YARSI/Ketua Lembaga Wakaf MES/Ketua Umum ILUNI UI KWTTI


