Pada 10 Juli 2025 saya ada aktifitas langsung ke masyarakat, yaitu pertemuan dengan Ibu-Ibu Kader Kesehatan dan tokoh masyarakat (Ketua RT dll) di Puskesmas Kebayoran Lama. Walaupun cukup banyak terlibat kegiatan internasional tetapi saya selalu “menikmati” kerja langsung di lapangan dan berdiskusi dengan garda terdepan, yaitu kader kesehatan.
Topik hari ini adalah tentang Demam Berdarah Dengue yang pada umumnya sudah dikuasai oleh para kader, dan lalu tentang Surveilans Berbasis Masyarakat (SBM).
Tentang Dengue saya sampaikan tentang lima point yang di galakkaan oleh WHO Kawasan Amerika. Pertama adalah mengetahui subtipe virus Dengue apa yang sedang berkecamuk di daerah tertentu. Ke dua pengendalian dan pemberantasan sarang nyamuk. Ke tiga perlindungan diri dengan baju tangan panjang atau kelambu dll. Ke empat adalah kesiapan fasilitas kesehatan, dan ke lima penyuluhan kesehatan. Empat dari lima hal ini sudah dilakukan oleh Ibu-Ibu Kader, hanya yang pertama yang tentang subtipe virus memang belum mereka ketahui. Saya bahas juga tentang Vaksin Dengue, yang memang masih berbayar dan belum ada di Puskesmas.
Tentang SBM, kita tahu bahwa surveilans adalah kegiatan pengamatan, pencatatan, pelaporan dan analisa nya, yang dilakukan secara terus-menerus dan sistematis terhadap situasi kesehatan atau faktor risiko yang menjadi tanda munculnya masalah kesehatan di masyarakat. Kegiatan ini biasa dilakukan oleh petugas kesehatan, tetapi tadi saya menganjurkan juga untuk dilakukan oleh para kader dan tokoh masyarakat Kebayoran Lama, dan juga masyarakat kita pada umumnya dimanapun berada.
Ada tiga kelebihan kegiatan Surveilans Berbasis Masyarakat (SBM) ini. Pertama, mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakit serta meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap masalah kesehatan. Ke dua, kader dan tokoh masyarakat adalah orang-orang yang di lapangan, yang paling tahu sejak dini tentang masalah kesehatan di lingkungan mereka. Tinggal hanya diberitahu tentang hal-hal apa yang perlu jadi perhatian, seperti misalnya ada klaster orang dengan gejala yang sama, atau ada pencemaran lingkungan di sekitar kawasan dll.
Ke tiga adalah meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam menjaga kesehatan.
Pertanyaan dari peserta pertemuan juga cukup menarik. Seorang Ketua RT misalnya, bertanya bahwa kalau ada klaster penyakit di warganya maka bagaimana mekanisme pelaporannya. Ibu Kader ada yang bertanya tentang bagaimana “resep” mengajak partisipasi masyarakat dalam pengendalian penyakit, dan bahkan ada Ibu Kader yang minta di jelaskan secara rinci tentang 4 serotipe virus Dengue.
Antusiasme peserta pertemuan sangat tinggi, semua berpartisipasi penuh karena memang saya meminta mereka yang membaca slide di layar secara bergilir. Ini menunjukkan bahwa potensi dan semangat para kader dan tokoh masyarakat jelas amat tinggi dan merupakan modal besar penanganan kesehatan. Tinggal petugas kesehatan saja memfasilitasi agar kinerja mereka akan makin penting dalam pengendalian kesehatan masyarakat di Daerah Khusus Jakarta yang menuju Kota Global ini, dan juga daerah lain di Indonesia.
Prof Tjandra Yoga Aditama
Direktur Pascasarjana Universitas YARSI / Adjunct Professor Griffith University