INDONESIA menutup Triwulan III-2025 dengan pertumbuhan 5,04% (y-on-y), 1,43% (q-to-q), dan 5,01% (c-to-c). Di atas kertas, ini konsisten dengan lintasan 5%-an yang kerap dipuji “stabil”. Namun stabil tidak identik dengan aman -apalagi optimal.
Di balik angka headline, ada dua bacaan yang sama kuat: perspektif “kebangkitan investasi yang menular ke manufaktur”, dan perspektif tandingannya-“ opname yang tersamar oleh dorongan ekspor dan efek impor yang mengempis.” Keduanya patut diperdebatkan secara jujur sebelum kita mengambil kesimpulan kebijakan.
Investasi Bangkit, Manufaktur Menggeliat
Dari sisi pengeluaran, Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) melonjak 6,37% (q-to- q) dan 5,04% (y-on-y). Ini bukan sekadar angka; PMTB adalah jembatan dari permintaan ke kapasitas produksi masa depan.
Lonjakan kuartalan sebesar ini -bersanding dengan pertumbuhan industri pengolahan 4,09% (q-to-q) dan 5,54% (y-on-y)- memberi sinyal bahwa mesin penawaran (supply- side) tidak lagi terengah-engah. Manufaktur tetap menjadi jangkar PDB (19,15% dari struktur PDB triwulan ini), sementara konstruksi melaju 5,28% (q-to-q). Bila tren ini berlanjut, produktivitas bisa terdongkrak dan “batas kecepatan” jangka menengah ekonomi (potential growth) berpeluang naik mendekati 5,5%.
Ekspor barang dan jasa juga tumbuh kencang 6,77% (q-to-q) dan 9,91% (y-on-y). Meski ekspor memang dipengaruhi siklus harga komoditas dan pemulihan mitra dagang, kenaikan bersamaan dengan PMTB mengisyaratkan kombinasi yang sehat: ekspor memberi pasar, investasi menyediakan kapasitas.
Di sektor, jasa pendidikan tumbuh dua digit (10,59% y-on-y) yang memperkaya “komponen jasa bernilai tambah”?”aset penting untuk ekonomi yang ingin keluar dari perangkap pendapatan menengah. Secara spasial, Jawa menyumbang 56,68% PDB dan tumbuh 5,17% (y-on-y), sementara Sulawesi menjadi juara pertumbuhan 5,84%?”cermin bahwa penguatan manufaktur dan hilirisasi di luar Jawa mulai terasa.
PDB Terbantu ‘Mekanik’
Kabar baik dari BPS tersebut tentu perlu diteliti juga sisi bayangannya. Pertama, konsumsi rumah tangga?”tulang punggung lebih dari separuh PDB?”justru terkontraksi 0,56% (q-to-q), meskipun masih tumbuh 4,89% (y-on-y). Secara struktural, porsi konsumsi rumah tangga masih mendominasi (53,14%), tetapi pelemahan kuartalan ini sulit diabaikan, terutama ketika daya beli digerus harga pangan/energi yang bergejolak dan suku bunga riil yang belum benar-benar longgar sekalipun sudah ada injkesi likuiditas IDR200 T dan BI rate di turunkan.
Kedua, impor barang dan jasa turun 0,74% (q-to-q). Secara akuntansi PDB, impor adalah pengurang; ketika impor melemah, PDB “naik” secara mekanis. Namun bagi mesin produksi, impor yang lemah bisa menandakan tendensi lemahnya bahan baku/kapital yang justru dibutuhkan industri -atau perlambatan volume perdagangan. Dengan kata lain, sebagian dari pertumbuhan kuartalan mungkin ‘terlihat kuat’ karena efek pengurang impor, bukan karena permintaan domestik yang benar-benar bergairah.
Pada sektor keuangan dan asuransi juga tercatat menyusut 4,13% (q-to-q), dan administrasi pemerintahan tertekan 17,15% (q-to-q)?”memang sekalipun bermotif musiman, tetapi tetap menjadi pengingat betapa siklus fiskal/likuiditas domestik bisa menyeret permintaan agregat di periode tertentu. Di sisi produksi tahunan, pertambangan dan penggalian minus 1,98% (y-on-y), menandakan angin komoditas belum sepenuhnya berpihak, sekalipun hilirisasi terus digenjot. Intinya: tanpa penopang konsumsi yang solid dan impor bahan baku/kapital yang pulih (tanda pabrik benar- benar menambah input), lari 5% rawan menjadi “lari di tempat.”
Menguji Asumsi dan Arah Kebijakan
Asumsi populer: “Selama ekspor dan investasi kuat, kita aman.” Namun realitas ekonomi tidak sesederhana itu. Ekspor kuat yang tidak diikuti impor input produksi bisa berarti hanya margin sesaat, dan bukan ekspansi kapasitas berkelanjutan. Investasi yang tinggi namun tidak menetes ke produktivitas tenaga kerja dan TFP (total factor productivity) tentu akan cepat habis napasnya. Sementara konsumsi rumah tangga yang goyah dapat memutus transmisi multiplier investasi ke sektor lain.
Karena itu, toolbox kebijakan perlu lebih tajam: (i) menjaga daya beli (targeted food/transport support yang terukur, bukan pemborosan), (ii) memperlancar logistik impor bahan baku/kapital untuk manufaktur (reformasi perizinan dan layanan kepabeanan yang menurunkan dwell time), (iii) mendorong PMTB yang berkualitas – terutama program digitalisasi proses produksi UMKM dan manufaktur tingkat menengah- agar investasi benar-benar meningkatkan produktivitas, dan (iv) memperkuat pasar tenaga kerja (reskilling) supaya ledakan jasa pendidikan hingga dua digit berujung pada kompetensi yang dipakai industri.
Penutup
Angka triwulan ini memberi bahan bakar optimisme dan ekspektasi ekonomi semakin positif: PMTB naik, manufaktur menguat, ekspor impresif. Namun alarm kecil juga menyala: konsumsi melemah secara kuartalan, impor turun, dan sebagian sektor jasa publik/keuangan tertekan. Kinerja 5,04% seharusnya menjadi “dasar lantai”, bukan “plafon atas”.
Tugas kebijakan berikutnya adalah memastikan ekspor-investasi tidak berdiri sendiri, melainkan menetes ke produktivitas dan daya beli. Baru dengan begitu, 5,04% berubah dari stabilitas yang rapuh menjadi realitas ekonomi riil dan menjadi pijakan untuk akselerasi pertumbuhan ekonomi ke depan.
Perdana Wahyu Santosa
Guru Besar Ekonomi, Dekan FEB Universitas YARSI dan Direktur Riset GREAT Institute.


