Diplomasi kesehatan global Internasional Health Regulation (IHR)

Saya sedang berada di kantor WHO Jenewa (dengan suhu pagi dan siang dibawah 5 C, bahkan malam hari dibawah O derajat) menghadiri dan peran serta aktif pada pertemuan ke 7 Working Group Internasional Health Regulation (WGIHR-7).

Pertemuan ini merupakan tindak lanjut dari pengalaman dunia yang nyaris luluh lantak akibat COVID-19, yang menunjukkan bahwa dunia memang tidak siap menghadapi pandemi dan perlu ada perbaikan nyata di masa depan, apalagi kita tahu bahwa pasti akan ada pandemi lagi di masa datang, hanya kita belum tahu kapan akan terjadinya dan penyakit apa yang jadi pemicu pandemi mendatang.

Di tengah dunia menghadapi COVID-19 maka World Health Assembly 1 Desember 2021 bersepakat untuk meluncurkan proses untuk membentuk suatu kegiatan bersejarah dunia (“historic global accord”) untuk ,menangani pandemi, dalam hal pencegahan(“prevention), persiapan (“preparation”) dan respon global. Untuk mewujudkannya maka dibentuklah “Intergovernmental Negotiating Body (INB)” untuk menyusun draft dan melakukan negosiasi untuk membentuk aturan dalam bentuk konvensi, kesepakatan atau instrumen internasional lainnya (“convention, agreement or other international instrument”) WHO di bidang ini. INB ini diikuti seluruh negara anggota WHO, termasuk Indonesia tentunya.

Dalam perjalanan waktu dari 2021 sampai 2024 ini maka  INB sudah menyelenggarakan tujuh kali pertemuan dan masih terus berproses dan bernegosiasi untuk menyusun proposal yang dapat disepakati bersama.

Sejalan dengan perkembangan INB maka negara-negara juga bersepakat untuk melakukan amandemen terhadap “International Health Regulations (2005)”, suatu aturan internasional yang ditandatangani seluruh negara untuk menangani masalah penularan penyakit antar negara. Untuk hal ini dibentuklah “Working Group on Amendments to the International Health Regulations (2005) (WGIHR)”, yang pertemuanya ke tujuhnya berjalan dalam seminggu ini, 5 sampai 9 Februari 2024 yang saya ikuti. Peserta pertemuan ini adalah praktis seluruh negara anggota WHO, hampir 200 negara di dunia. Pembahasan dan negosiasinya amat alot, dibahas pasal per pasal dan bahkan terkadang kalimat per kalimat.

Saya sendiri pernah juga mengikuti pembahasan se ketat ini bahkan sampai hampir 4 tahun lamanya dari 2007 sampai 2011 yang lalu. Pertemuan-pertemuan diplomasi kesehatan internasional seperti ini selalu berjalan maraton, dari pukul 09.00 sampai 17.30 setiap hari, dan terkadang dilanjutkan sampai malam. Selain pembicaraan di ruang sidang maka banyak sekali lobby-lobby yang dilakukan secara informal, dan delegasi juga harus berkomunikasi dengan pemerintahnya masing-masing serta perwakilan negara di Jenewa, seperti halnya Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI) Jenewa.

Ada tiga hal penting dalam pengaturan kesehatan global yang jadi pegangan dalam diskusi dan negosiasi di WHO, yaitu 1) kepemimpinan, 2) inklusifitas dan 3) akuntabilitas (“leadership, inclusivity and accounatbility”). Juga ada tiga prinsip penting yang perlu selalu jadi dasar utama yang selalu saya tekankan dalan diplomasi internasional di WHO, yaitu a) kejujuran, b) kesetaraan dan c) transparansi (“fairness, equity and transparancy”).

Dalam penerapannya maka ada lima prinsip untuk memperkuat ketahanan kesehatan dunia dalam menghadapi berbagai masalah kesehatan antar negara, yaitu:

  1. Koordinasi kerjasama internasional
  2. Multilateralisme
  3. Solidaritas global
  4. Pengaturan pada tingkat politis tertinggi dan lintas sektor yang relevan  (“governance at the highest political levels and across all relevant sectors”)
  5. Tujuan diplomasi kesehatan global harusnya dapat mengatasi masalah tidak setaraan (“inequities”) dan juga menjamin keberlangsungan berbagai jenis pelayanan kesehatan yang terjangkau, efektif, efisien dan tersedia pada waktu yang diperlukan

 

Prof Tjandra Yoga Aditama
Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI
Sedang di kantor WHO Jenewa