Masih Masuk Objek Pajak. Pemerintah Agar Naruh Perhatian Kondisi PTS,

Universitas Yarsi kembali menggelar webinar. Kali ini mengangkat tema Ciptakan Harmonisasi Pendidikan, PTS Jadi Objek Pajak, Tepat atau Perlu Revisi ?.

Sekretaris Jenderal Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi (Sesditjendiktiristek) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Paristiyanti Nurwardani, sebagai pembicara pertama banyak informasi disampaikan,diantaranya mendorong agar dilakukan pemilahan objek pajak pada perguruan tinggi swasta (PTS).

“Perlu dilakukan pemilihan dan pemilahan kampus swasta, mana  seharusnya menjadi objek pajak dan mana yang tidak,” tutur Paristiyanti

Jika PTS tersebut sudah mempunyai keuangan baik bahkan ada yang memiliki hotel, maka bisa dijadikan objek pajak. Sementara kampus yang kesulitan secara ekonomi tidak perlu menjadi objek pajak bahkan harus dibantu.

Sementara Ketua Umum Aliansi Penyelenggara Perguruan Tinggi Indonesia( APPERTI), Prof. Jurnalis Uddin  mengkritik pengenaan pajak bumi dan bangunan (PBB) atas institusi pendidikan  berlaku selama ini. Sesuai regulasi, lembaga pendidikan  ikut serta mencerdaskan bangsa dibebaskan dari kewajiban membayar PBB.

Ketua Umum APPERTI  mengatakan berdasarkan UU No.12 Tahun 1985 juncto UU No.12 Tahun 1994 pasal 3 ayat 1, yayasan pengelola pendidikan mestinya tidak dikenakan PBB.

“Nyatanya tetap kena bahkan naik setiap tahun mengikuti nilai jual objek pajak(NJOP),” kata Jurnalis

Pasal 3 ayat (1) menyebutkan objek pajak tidak dikenakan PBB adalah objek pajak  digunakan semata-mata melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksud-kan untuk memperoleh keuntungan.

Prof Jurnalis menegaskan Surat Edaran Dirjen Pajak No. S 1683/Pj.6/1994  mengenakan pajak atas perguruan tinggi swasta, secara terang-terangan menabrak undang-undang tersebut.

Surat Dirjen Pajak  muncul sebulan setelah UU No.12 Tahun 1994 itu disahkan DPR RI, menyatakan bahwa objek pajak dikuasai, dimiliki atau dimanfaatkan PTS ialah objek PBB. Nilainya sebanyak 50 persen dari nilai seharusnya. “Jelas menabrak undang-undang, ditambah lagi kebijakan ini tidak diikuti oleh KPP di bawahnya yang tetap mengenakan PBB secara penuh kepada lembaga pendidikan,” tegasnya.

Dia mencontohkan kasus di Universitas Yarsi, menerima surat pemberitahuan pajak terutang PBB tahun 2013. Rincian PBB Yarsi oleh Dispenda DKI Jakarta senilai Rp 415,798 miliar, kemudian PBB-P2  terutang adalah 0,3 persen dikalikan Rp 415,798 miliar atau senilai Rp 1,25 miliar. “Itu naik 50 persen dari PBB 2012, tidak ada keringanan 50 persen seperti kebijakan Surat Dirjen Pajak, padahal semestinya lembaga pendidikan itu tidak dikenakan pajak PBB,” ujar Jurnalis.

Prof Jurnalis juga menyinggung surat Dirjen Pajak bahwa perguruan tinggi swasta (PTS)  dikenakan PBB adalah yang cenderung memperoleh keuntungan.

 Dia menduga ada salah pengertian terkait status yayasan non profit atau tidak mencari untung, sehingga muncul pemikiran dinas perpajakan bahwa perguruan tinggi swasta itu tidak boleh mendapat untung.

Menurutnya, jika PTS tidak boleh untung bagaimana harus memenuhi kebutuhan gedung, teknologi dan alat yang harus diganti.  “Kalau tidak punya sisa hasil usaha alias rugi pasti PTS tersebut sudah lama dikubur,” katanya.

PTS mutlak harus punya sisa hasil usaha, tetapi setelah dengan UU No 16 Tahun 2001 juncto No.28 tahun 2004, sisa hasil usaha harus diinvestasikan kembali ke PTS. Tidak boleh dibagikan kepada pembina, pengurus dan pengawas

“Yang membuat terobosan hanya Kota Surabaya yang membebaskan PTS dari kewajiban membayar PBB,” tambah Jurnalis.

Sementara itu, Kasubdit Penyuluhan Perpajakan Direktorat Jenderal Pajak,Inge Diana Rismawanti, menyebutkan sebelum UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) jasa pendidikan tidak dikenakan PPN. Namun, setelah HPP diundangkan, jasa pendidikan dikenakan PPN.  “Kecuali jasa pendidikan yang tidak memungut iuran atau memungut iuran dalam batasan jumlah tertentu tidak kena PPN,” kata Inge.

Ditambahkannya, pemerintah berkaca pada negara tetangga seperti Singapura, Vitenam, Thailand, China yang mengenakan PPN pada jasa pendidikan. Misalnya di Vietnam 5 persen, Cina 6 persen, Singapura 7 persen, dan Thailand 7 persen.

“Mereka termasuk negara  mengenakan pajak, jadi jasa pendidikan ini tidak terkecualikan dikenai pajak,” tuturnya.

Sementra Anggota Komisi XI DPR, Ecky Awal Mucharam, mengatakan dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, jasa pendidikan tidak dikenakan pajak alias nol persen. Akan tetapi jasa pendidikan masuk ke dalam objek pajak.

“Konsekuensinya lembaga pendidikan akan dibebani berbagai administrasi perpajakan agar mendapatkan nol persen,” kata Ecky

Selain pembicara diatas, tampil pula Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) ,Prof. Budi Djatmiko  Budi Djatmiko meminta pemerintah untuk tidak asal-asalan dalam memungut pajak kepada PTS.

Kemudian Reporter Antara News Agency, Indriani  mengatakan, kita perlu menjadikan isu pajak ini pada yayasan pendidikan untuk dijadikan sebagai agenda bersama . Tujuannya agar pemerintah dan pemangku kebijakan agar menaruh perhatian terhadap kondisi PTS, serta memberikan insentif , terutama masa-masa krisis pandemi seperti ini.

Penulis : Anggun dan Dimas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *