Delapan hal varian Nimbus, varian terbaru COVID-19

Hari-hari ini banyak dibicarakan tentang varian Nimbus NB.1.8.1 yang dikaitkan dengan peningkatan kasus COVID-19 di beberapa negara. Ada delapan hal tentang varian Nimbus ini.

Pertama, Laporan Disease Outbreak News WHO terbaru menyebutkan bahwa mulai pertengahan April 2025 maka sirkulasi varian LP.8.1 mulai berkurang dan varian baru NB.1.8.1 mulai meningkat, dan kini mendapat perhatian penting dunia dan diberi nama varian Nimbus.

Ke dua, karena perkembangannya maka WHO lalu memasukkan varian Nimbus NB.1.8.1 sebagai “variant under monitoring (VUM)”. Kita ingat waktu COVID-19 sedang tinggi-tingginya maka WHO menetapkan tiga klasifikasi varian ini, yang paling berat adalah” variants of concern (VOC)” seperti Delta dll, lalu ada “variants of interest (VOI)” dan “variants under monitoring (VUM”). Ketika itu situasi amat dinamis, yang VUM bisa berubah menjadi VOI dan yang VOI bisa berubah menjadi VOC, dan demikian juga sebaliknya.

Ke tiga, Secara genomik varian Nimbus ini berhubungan dengan XDV.1.5.1 dan kemudian dengan varian JN.1. Bila dibandingkan dengan varian dominan lainnya yaitu LP.8.1 maka varian Nimbus NB.1.8.1 punya berbagai mutasi “spike” pada T22N, F59S, G184S, A435S, V445H, dan T478I.

Ke empat, yang penting, mutasi “spike” pada posisi 445 menunjukkan peningkatan keterikatan (“enhance binding affinity”) terhadap reseptor hACE2, dan hal inilah yang menyebabkan varian ini jadi lebih mudah menular, yang bukan tidak mungkin terkait dengan peningkatan kasus di beberapa negara sekarang ini.

Ke lima, dampak lain, mutasi varian Nimbus pada posisi 435 juga mengakibatkan penurunan potensi netralisasi antibodi, sementara mutasi pada posisi 478 menunjukkan evasi antibodi pula.

Ke enam, sampai pada 18 Mei 2025, sudah ada 518 sekuen NB.1.8.1 dilaporkan oleh 22 negara ke GISAID from 22 countries, dan datanya menunjukkan 10,7% data global pada pekan epidemiologi (“epidemiological week – EW”) ke 17 tahun 2025 (21 sampai 27 April 2025). Walaupun angka persentase ini nampaknya masih kecil tetapi ini jauh meningkat dari angka empat minggu sebelumnya (31 Maret sampai 6 April 2025) yang masih 2.5%.

Ke tujuh, peningkatan ini terjadi di Asia, Eropa dan Amerika. Tentu akan baik kalau Indonesia juga melakukan surveilan genomik yang lebih giat lagi, untuk melihat perkembangan varian Nimbus ini. Salah satu rekomendasi yang perlu dipertimbangkan adalah dengan meningkatkan jumlah tes, misalnya diberlakukan kebijakan test COVID-19 untuk semua kasus “Severe Acute Respiratory Illness (SARI)” yang di rawat di rumah sakit kita dan juga 5% kasus “Influenza-Like Illness (ILI)”. Kemudian, semua hasil positif COVID-19 pada kasus SARI lalu dikirimkan untuk pemeriksaan “Whole Genome Sequencing” di laboratorium rujukan kita.

Ke delapan, Laman “World Healthy Netrwork” menyampaikan empat hal tentang varian Nimbus ini. Pertama, nampaknya memang lebih mudah menular daripada varian sebelumnya. Ke dua, gejalanya dapat berupa nyeri tenggorok yang berat yang disebut seperti di sayat silet (“razor-blade”), lemah, batuk ringan, demam serta nyeri otot. Ke tiga, tentang berat ringannya penyakit maka masih harus menunggu beberapa minggu ke depan untuk mendapatkan data yang lebih lengkap. Ke empat, munculnya varian Nimbus di musim panas sekarang ini menunjukkan bahwa COVID-19 memang bukan hanya terjadi di musim yang cuacanya sedang dingin.

Prof Tjandra Yoga Aditama
Direktur Pascasarjana Universitas YARSI
Adjunct Professor Griffith University