Spesialis

Media massa mengabarkan tentang Perpres Nomor 81 Tahun 2025, yang diteken oleh Presiden Prabowo yang mengatur pemberian tunjangan khusus kepada dokter spesialis, dokter subspesialis, dokter gigi spesialis, dan dokter gigi subspesialis di DTPK (daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan), khususnya mereka yang praktik di fasilitas kesehatan milik pemerintah daerah. Ada empat hal tentang hal ini.

Pertama, tentu kita amat menyambut baik Peraturan Presiden yang memberi tunjangan khusus para para dokter spesialis yang bekerja di DTPK. Memang masih ada yang memberi beberapa catatan, misalnya jumlah sekitar Rp 30 juta itu mungkin belum memadai apalagi kalau daerahnya benar-benar amat terpencil dan dengan berbagai tantangannya. Atau juga ada yang mempertanyakan bagaimana tentang tenaga kesehatan lain yang bekerja juga di tempat DTPK yang sama, apa bukannya baiknya mereka dapat tambahan tunjangan khusus juga, apalagi kita tahu bahwa dokter spesialis tidak mungkin bekerja sendiri dan harus dalam satu team bersama petugas lainnya. Tetapi bagaimanapun juga, saya kira kita patut amat berterimakasih atas Peraturan Presiden tentang tunjangan khusus dokter spesialis ini, yang menunjukkan perhatian dan keberpihakan pemerintah bagi kerja teman-teman dokter spesialis di DTPK.

Ke dua, kita tahu bahwa dalam kerja dokter/dokter gigi spesialis dan subspesialis sehari-hari maka mereka memerlukan sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Selain alat-alat yang khusus dan spesifik maka juga perlu dukungan dan jaminan aliran listrik yang memadai misalnya, beberapa alat mungkin akan rusak kalau AC tidak memadai. Bukan tidak mungkin juga akan diperlukan jaringan internet yang baik. Kalau alat ada yang perlu pemeliharaan rutin dan atau perbaikan maka juga perlu ada dukungan teknologi dan perusahaan pemasok sampai ke daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan ini. Tanpa team yang lengkap dan alat memadai maka tugas dokter/dokter gigi spesialis dan subspesialis tidaklah akan optimal guna melayani masyarakat. Di sisi lain, jaringan listrik dan internet juga amat diperlukan agar para dokter/dokter gigi spesialis dan subspesialis dapat tetap mengikuti perkembangan ilmu kedokteran dari waktu ke waktu, yang selalu berkembang dengan pesat, dengan mengikuti jurnal ilmiah terbaru.

Ke tiga, memang berita menyebutkan bahwa dokter/dokter gigi spesialis dan subspesialis, juga akan mendapatkan kesempatan pelatihan berjenjang dan pembinaan karier. Tentu akan baik agar ada semacam kejelasan tentang berapa lama seorang dokter spesialis akan bekerja di DTPK, apakah akan selamanya di sana sampai pensiun atau akan ada semacam rotasi sesudah sekian tahun misalnya. Kalau memang ada rencana rotasi maka akan baik kalau sistem nya sudah di atur dengan jelas, supaya pada dokter spesialis / subspesialis ini sejak awal bekerja sudah lebih tenang tentang kepastian masa depannya.

Hal ke empat, harus diakui juga bahwa pada dokter/dokter gigi spesialis dan subspesialis yang punya anak tentu ingin anak-anaknya mendapat sekolah dan pendidikan yang baik. Kita tahu bahwa untuk masuk Universitas misalnya maka diperlukan mutu pendidikan SLTA yang baik, tentu juga pendidikan SLTP dan SD nya. Nah, kalau orang tuanya yang menjadi dokter/dokter gigi spesialis dan subspesialis yang kerja dan tinggal di daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan, maka tentu perlu dipikirkan bagaimana pendidikan anak-anak mereka.

Prof Tjandra Yoga Aditama
Direktur Pascasarjana Universitas YARSI
Adjunct Professor Griffith University, Australia.