Ada Sejumlah Pajak dinilai Memberatkan Dunia Pendidikan

JAKARTAsuaramerdeka-jakarta.com – Sebelum Covid-19, kondisi perguruan tinggi swasta (PTS) sebagai bagian kelompok jasa penyelenggara pendidikan akademi sudah mengalami kesusahan dalam keuangan.

Kini, pandemi Covid-19 masih menempel di Indonesia, entah kapan berakhir, menjadikan keuangan PTS babak belur.

Bagi badan penyelenggara PTS umumnya berbentuk yayasan, beban pajak harus ditanggung sebelum Covid-19 sudah memberatkan.

Ketua Umum Aliansi Penyelenggara Perguruan Tinggi (APPERTI), Jurnalis Uddin mengatakan bahwa memang ada sejumlah pajak yang dinilai memberatkan dunia pendidikan.

“Seperti pajak untuk pembelian alat kesehatan yang digunakan untuk penelitian. Selain itu, juga pajak bumi dan bangunan (PBB) di mana nilai jual objek pajak (NJOP) terus mengalami kenaikan setiap tahunnya,” katanya dalam dialog “PTS Jadi Objek Pajak, Tepat atau Perlu Revisi?” yang diselenggarakan Universitas YARSI secara virtual di Jakarta, Selasa, 30 November 2021.

Jurnalis menyampaikan bahwa sisa lebih yang tidak dimanfaatkan selama empat tahun dan berlaku progresif. Di satu sisi, pihak yayasan sebagai pengelola PTS kesulitan menggunakan sisa lebih.

“Karena membutuhkan waktu untuk menabung, misalnya untuk pembangunan gedung maupun perluasan lahan,” ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi (Sesditjendiktiristek) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Paristiyanti Nurwardani mendorong agar dilakukan adanya pemilahan objek pajak pada PTS.

“Perlu dilakukan pemilihan dan pemilahan kampus swasta yang mana yang seharusnya menjadi objek pajak dan mana yang tidak,” ungkap Paristiyanti.

Paris menjelaskan jika PTS tersebut sudah mempunyai keuangan yang baik bahkan ada yang memiliki hotel, maka bisa dijadikan objek pajak. Sementara kampus yang kesulitan secara ekonomi tidak perlu menjadi objek pajak bahkan harus dibantu.

Sementara, Wartawan Pendidikan, Reporter Antara News, Indriani menuturkan perlu adanya afirmasi dari pemerintah untuk dunia pendidikan, misalnya untuk pembelian alat-alat laboratorium. Begitu juga dengan PTS satu dengan yang lain jangan di sama ratakan.

“Misalnya, PTS Binus jangan di sama ratakan dengan Universitas Pamulang. Karena memang pendapatan juga berbeda. Apalagi saat pandemi seperti ini, di mana jumlah mahasiswa baru itu turun drastis. Misalnya, di Uhamka biasanya setiap tahun menerima 5.000-6.000 mahasiswa sekarang turun menjadi 3.000,” tutur Indriani.

Terkait PBB, lanjut Indriani, perlu ada sinergitas antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Menurutnya, kalau pemerintah pusat memberikan insentif maka daerah juga perlu memberikan insentif.

“Yang perlu diperhatikan bersama ialah menjadikan isu pajak ini menjadi isu bersama. Jadi, bagaimana PTS-PTS di seluruh Indonesia ini bersama-sama menggaungkan pajak. Contohnya seperti, wacana Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk pendidikan yang dulu sempat ramai banyak yang menolak akhirnya diharmonisasi melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Saya kira, pemerintah juga terbuka menerima pendapat yang berbeda,” tambahnya.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *