Apa Dampak Kebijakan The Fed terhadap Ekonomi Indonesia?

KEPUTUSAN Federal Reserve (The Fed) pada 30 Oktober 2025 untuk memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin –membawa tingkat “federal funds rate” dari 4,25 persen ke 3,75-4,00 persen — menandai perubahan arah penting dari kebijakan moneter ketat ke fase pelonggaran hati-hati.

Alasan di balik langkah ini cukup kompleks: inflasi di Amerika Serikat memang mulai melandai setelah periode pengetatan agresif selama dua tahun, tetapi tanda-tanda perlambatan ekonomi dan pelemahan pasar tenaga kerja semakin nyata. Dalam situasi seperti itu, The Fed memilih pendekatan “soft landing”: menjaga agar ekonomi tidak jatuh ke resesi tanpa membiarkan inflasi kembali meningkat.

Namun kebijakan moneter AS tidak pernah berdampak lokal tentunya. Ia bagaikan pasang laut global — naik turunnya menentukan arus likuiditas dunia. Ketika The Fed menurunkan suku bunga, biaya dana dolar AS menjadi lebih murah, mendorong investor mencari peluang di negara-negara berkembang yang menawarkan imbal hasil lebih tinggi.

Akibatnya, aliran modal ke emerging markets seperti Indonesia biasanya meningkat, mendorong penguatan rupiah dan penurunan yield obligasi domestik. Tetapi riak positif ini bisa dengan cepat berubah arah bila pasar menafsirkan langkah The Fed bukan sebagai stimulus pertumbuhan, melainkan tanda melemahnya ekonomi global. Dalam kasus itu, investor bisa justru berlari ke aset aman seperti Treasury AS—meninggalkan pasar berkembang yang dianggap lebih berisiko.

Mekanisme transmisi kebijakan The Fed ke Indonesia berlangsung melalui tiga jalur: suku bunga global, nilai tukar, dan arus modal. Jalur pertama menentukan biaya dana internasional; jalur kedua memengaruhi stabilitas kurs rupiah; dan jalur ketiga menentukan arah investasi portofolio jangka pendek. Ketiganya saling bertaut.

Ketika dolar AS melemah, rupiah cenderung menguat, menurunkan biaya impor dan utang luar negeri. Namun jika aliran modal berbalik arah karena ketidakpastian global, rupiah dapat melemah tajam dan menekan cadangan devisa.

Bank Indonesia (BI) harus terus menjaga keseimbangan sensitif ini yaitu antara menyesuaikan kebijakan domestik dan mempertahankan stabilitas eksternal.

Peluang dan Risiko bagi Indonesia

Dampak kebijakan The Fed terhadap ekonomi Indonesia bersifat ambivalen — ia membuka peluang, tetapi juga menghadirkan risiko. Dari sisi positif, penurunan suku bunga global memberi ruang bagi BI untuk menyesuaikan kebijakan moneternya tanpa menimbulkan arus modal keluar yang besar. Jika inflasi domestik tetap terkendali, BI dapat mempertimbangkan pelonggaran bertahap guna mendorong konsumsi rumah tangga dan investasi swasta.

Biaya pendanaan bagi perusahaan domestik bisa menurun, dan beban bunga utang luar negeri berdenominasi USD menjadi lebih ringan. Ruang fiskal pemerintah juga sedikit melonggar karena pembiayaan global menjadi lebih murah.

Namun, sisi lainnya adalah munculnya tantangan struktural. Apabila pelonggaran The Fed terjadi karena perlambatan ekonomi global yang signifikan, maka permintaan ekspor Indonesia bisa tertekan. Sektor manufaktur, pertambangan, dan komoditas yang bergantung pada permintaan eksternal akan menghadapi tekanan harga.

Apresiasi rupiah yang terlalu cepat juga dapat mengurangi daya saing ekspor. Selain itu, pelonggaran likuiditas global sering kali menciptakan risiko “overheating” di pasar keuangan domestik — harga aset naik cepat tanpa didukung fundamental ekonomi yang kuat. Pengalaman “taper tantrum” tahun 2013 menjadi pengingat bahwa euforia moneter global dapat berbalik menjadi gejolak bila arah kebijakan Fed mendadak berubah.

Dari perspektif stabilitas keuangan, sektor perbankan Indonesia relatif tangguh karena rasio kecukupan modal tinggi dan eksposur dolar AS lebih terkendali dibanding satu dekade lalu. Namun korporasi non-keuangan yang memiliki utang luar negeri tetap harus waspada. Penurunan suku bunga AS saat ini bukanlah jaminan bahwa biaya dolar AS akan tetap rendah dalam jangka panjang. Jika inflasi global kembali meningkat, The Fed dapat berbalik arah dengan cepat.

Karena itu, strategi lindung nilai (hedging) terhadap risiko kurs dan suku bunga menjadi sangat penting. Bank Indonesia pun harus mengantisipasi volatilitas dengan memperkuat cadangan devisa dan instrumen pasar uang domestik untuk menjaga stabilitas likuiditas.

Implikasi terhadap Pasar Keuangan

Pasar keuangan Indonesia merupakan kanal tercepat dalam merespons kebijakan The Fed. Di pasar saham, penurunan suku bunga AS biasanya meningkatkan “risk appetite” investor global — aliran dana ke saham-saham emerging market meningkat, terutama di sektor perbankan, properti, dan konsumer. Namun dampaknya tidak selalu merata. Jika pelonggaran Fed ditafsirkan sebagai sinyal pelemahan ekonomi dunia, sektor berbasis ekspor seperti batubara atau minyak sawit justru bisa terpukul oleh penurunan harga komoditas.

Di pasar obligasi, kebijakan The Fed tentu berpengaruh langsung terhadap yield Surat Berharga Negara (SBN). Ketika investor asing masuk ke pasar surat utang Indonesia karena mencari yield lebih tinggi, harga obligasi naik dan yield menurun. Hal ini membantu pemerintah membiayai defisit anggaran dengan biaya lebih rendah. Namun

volatilitas juga meningkat: begitu pasar global berbalik arah, investor asing bisa keluar dalam waktu singkat — menciptakan tekanan pada kurs rupiah dan likuiditas domestik.

Kurs rupiah menjadi barometer utama persepsi investor. Ketika dolar AS melemah akibat kebijakan pelonggaran The Fed, IDR cenderung menguat. Rupiah yang kuat memang menurunkan biaya impor dan beban utang dolar AS, tetapi di sisi lain mengurangi daya saing ekspor dan pendapatan sektor komoditas. Bagi industri tambang dan energi yang berorientasi ekspor, ini bisa berarti margin laba yang menurun.

Karena itu, kebijakan moneter domestik harus selalu berhati-hati agar apresiasi IDR tidak berlebihan. Bank Indonesia cenderung akan menahan suku bunga di level yang masih menarik bagi investor, sambil tetap menjaga inflasi dalam target 2–3 persen.

Penutup

Kebijakan pelonggaran moneter The Fed memberikan napas bagi perekonomian dunia setelah dua tahun tekanan suku bunga tinggi. Bagi Indonesia, ini ibarat angin segar yang membuka peluang pertumbuhan melalui likuiditas global yang lebih longgar dan biaya pembiayaan yang menurun.

Namun peluang ini datang bersama gelombang risiko: fluktuasi modal jangka pendek, volatilitas kurs, dan ketidakpastian arah kebijakan global berikutnya. Tantangan bagi Indonesia bukan sekadar menumpang arus global, tetapi menavigasi arah ekonomi dengan kebijakan terukur.

Keputusan The Fed hanyalah satu simpul dari jejaring ekonomi global yang saling terhubung. Dampaknya pada Indonesia tergantung pada kesiapan domestik dalam merespons, bukan pada keputusan di Washington semata.

Bila kebijakan moneter, fiskal, dan sektor riil Indonesia mampu bergerak selaras, maka riak dari Washington bukanlah ancaman — melainkan momentum. Dalam dunia yang semakin terhubung, kekuatan bukanlah tentang menolak gelombang, tetapi tentang mengendalikan arah kebijakan agar kendali ekonomi tetap stabil.

 

Perdana Wahyu Santosa
Guru Besar Ekonomi, Dekan FEB Universitas YARSI dan Direktur Riset GREAT Institute