Redenominasi Rupiah: Perlukah Sekarang?

WACANA redenominasi rupiah kembali menghangat—menyederhanakan digit pada nominal uang tanpa mengubah daya beli—kembali dinyalakan. Kali kini dilontarkan Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa. Pemerintah menyebutkan tengah menyiapkan RUU Redenominasi/Perubahan Harga Rupiah sebagai bagian dari agenda reformasi moneter-fiskal jangka menengah; targetnya diproyeksikan rampung 2026–2027.

Rencana kebijakan ini bukan ide baru: BI pernah mendorongnya sejak 2010, DPR mengkaji pada 2012, dan diskursus publik menghangat lagi setelah masuk ke Renstra Kemenkeu 2025–2029 (PMK 70/2025). Di tengah pergantian Menkeu dari Sri Mulyani ke Purbaya (8 September 2025), isu ini tampaknya kembali mendapatkan momentum politik yang kuat—namun momentum bukan substitusi prasyarat teknis.

Redenominasi berhasil jika ekonomi stabil, inflasi rendah dan terjangkau, sistem pembayaran siap, serta komunikasi publik presisi agar tidak disalahartikan sebagai “sanering.”

Apakah Urgensinya Tinggi?

Argumen pro-urgensi sekurangnya ada tiga yang berkembang luas. Pertama, efisiensi akuntansi dan sistem pembayaran: memangkas nol menyederhanakan penetapan harga, penganggaran, dan tampilan antarmuka di POS/ATM, sekaligus mengurangi error pembacaan.

Kedua, kredibilitas dan gengsi rupiah meningkat: nominal yang lebih “ringkas” dinilai memudahkan perbandingan internasional dan persepsi kestabilan, selama daya beli tak berubah. Ketiga, momen transformasi infrastruktur pembayaran (QRIS, real-time payments) yang memudahkan pembaruan

sistem secara serempak.

Namun urgensi “tinggi” tidak otomatis. Redenominasi bukan obat inflasi atau kurs; ia kosmetik yang berguna bila fondasi makro cukup solid. Jika inflasi sedang menguat atau ekspektasi publik goyah, risiko miskomunikasi tentu akan meningkat.

Sejumlah ekonom mengingatkan potensi mudarat jika disiapkan tergesa—mulai dari kebingungan harga, biaya transisi UMKM, hingga rounding-up yang memicu inflasi mikro. Dengan kata lain: urgensi kondisional dengan syarat: urgensi dinilai tinggi jika prasyaratnya dipenuhi dan roadmapnya kredibel; jika tidak, lebih aman menunda dahulu.

Manfaat Inti: Efisiensi Transaksi dan Pelaporan

Aktifitas pengetikan, pencatatan, dan tampilan harga menjadi ringkas; standar akuntansi, kasir, dan sistem ERP lebih sederhana. Keseragaman harga dan edukasi finansial. Label ganda (lama–baru) pada masa transisi mengajarkan disiplin pembulatan dan transparansi. Serta sinyal kredibilitas. Negara yang sukses redenominasi umumnya menyiapkan komunikasi publik yang solid dan konsisten: “ini bukan pemotongan nilai, hanya penyetaraan satuan.”

Risiko Utama Rounding inflation.

Pedagang berpotensi untuk cenderung membulatkan ke atas, terutama pada barang dengan harga psikologis (snack, tiket parkir). Butuh kebijakan pecahan kecil (koin/uang elektronik) agar pembulatan ke bawah feasible. Selanjutnya beban UMKM. Penggantian mesin kasir, label, dan materi promosi bukan biaya kecil. Mekanisme insentif pajak atau voucher digital transisi penting.

Kemudian kompleksitas sistem pembayaran. ATM, core banking, switching, e-wallet, QRIS, hingga kontrak derivatif memerlukan kalender migrasi yang sinkron—serta uji coba skala nyata. 4) Salah kaprah publik tinggi. Tanpa kampanye massif dan siatematis, redenominasi mudah disalahartikan sebagai sanering (pemotongan daya beli). Pengalaman 1965—yang memang sanering—membekas dalam memori kolektif; disinilah seni komunikasi kebijakan pemerintah diuji.

Rekomendasi

Tetapkan prasyarat makro eksplisit. Sebaiknya memasang “trigger” makro yang terukur sebelum fase go-live: inflasi inti dalam rentang target BI secara konsisten, volatilitas kurs terjaga, defisit fiskal pada lintasan kredibel, dan saldo rekening pemerintah dalam kisaran aman untuk menyerap guncangan pembayaran tunai. Publikasikan indikator ini per triwulan sebagai dashboard kesiapan. (Kerangka kebijakan fiskal-moneter 2010 BI/Kemenkeu dapat dijadikan rujukan metodologis.)

RUU Redenominasi dengan desain sunset & switch-over. Seharusnya masukkan ketentuan: (a) periode tampilan ganda harga (mis. 12–24 bulan), (b) masa berlaku tumpang tindih dua mata uang (lama dan baru) dengan kurs tetap 1:1.000 (jika opsi 3 nol) hingga batas akhir, (c) ketentuan tick-size dan pecahan terkecil untuk meminimalkan rounding inflation, (d) sunset clause—tanggal penghentian uang lama yang tegas namun memberi kelonggaran penukaran di BI. Target legislasi 2026–2027 realistis; tetapkan milestone publik agar akuntabel.

No-surprises communication—kampanye 4 pilar. Pilar (i) Definisi: tekankan “bukan sanering, nilai riil tak berubah.” (ii) Contoh konkret: konverter resmi (Rp1.000 lama = Rp1 baru) di aplikasi pemerintah/BI, di kasir, dan tag harga. (iii) Perlindungan konsumen: larangan markup sepihak saat relabeling; kanal pengaduan. (iv) Edukasi UMKM: toolkit label, template nota, dan pelatihan daring luring. Cantumkan narasi yang konsisten di semua kanal, termasuk media sosial resmi Menkeu/BI.

Phased technical migration dengan pilot. Sebaiknya mulai dari sandbox di beberapa kota dan kategori transaksi (transportasi publik, ritel modern, pembayaran pemerintah) selama 3–6 bulan. Gunakan A/B testing harga psikologis (mis. Rp9.900 jadi Rp9,90 baru) untuk memetakan pola pembulatan. Siapkan playbook insiden untuk error ATM, gagal debet, atau tagihan ganda. Hanya bergerak ke nationwide switch setelah pilot KPI tercapai.

Insentif biaya transisi UMKM. Berikan (i) kredit pajak atas pembaruan POS/mesin kasir, (ii) voucher digital untuk penggantian label, (iii) bantuan teknis gratis melalui dinas koperasi dan Himbara. Desainnya sederhana dan opt-out untuk menekan friksi administratif.

Harmonisasi akuntansi–perpajakan–kontrak. Terbitkan pedoman akuntansi & pajak yang memetakan rupiah lama–baru: pembulatan, materialitas, penilaian kembali, tarif retribusi, denda, hingga batas pelaporan (PTKP, PPN, PPh final UMKM). Untuk kontrak jangka panjang (sewa, KPR, derivatif), siapkan klausul redenomination-safe agar tidak memicu sengketa nilai nominal.

Perkuat stok pecahan kecil & e-money. Pemerintah memaastikan ketersediaan koin/pecahan mikro dan optimalkan micropayments nontunai agar harga dapat berakhir “,90” tanpa inflasi pembulatan. Kolaborasi BI–perbankan–fintech menentukan.

Redenominasi bukan tongkat magis yang dapat memperkuat rupiah seketika—kebijakan ini adalah operasi kebahasaan atas angka saja yang bila dikerjakan dengan rapi, menghasilkan efisiensi dan kejelasan; namun bila serampangan dan miskomunikasi menambah kebingungan dan potensi inflasi mikro.

Di bawah Menkeu Purbaya, momentum politik memang ada; namun tetap saja integritas teknis, disiplin komunikasi, dan kesiapan sistem adalah penentu utama. Pemerintah telah memberi sinyal melalui Renstra Kemenkeu dan rencana RUU; dunia usaha menunggu peta jalan yang lebih konkret dengan tenggat yang kredibel.

Rekomendasi praktisnya sederhana, spesifik tapi jelas: tetapkan gate makro yang terukur, uji lapangan lewat pilot, lindungi konsumen dan UMKM, sinkronkan sistem pembayaran–akuntansi–perpajakan, serta jalankan kampanye nasion¬al yang menekankan satu kalimat kunci: nilai riil tidak berubah, hanya satuannya yang disederhanakan.

Bila syarat-syarat itu dipenuhi, redenominasi dapat menjadi higiene kelembagaan yang merapikan cara kita menulis harga, menghitung transaksi, dan membaca ekonomi—sebuah investasi reputasi yang layak untuk dekade pertumbuhan berikutnya.

 

Perdana Wahyu Santosa
Guru Besar Ekonomi, Dekan FEB Universitas YARSI, dan Direktur Riset GREAT Institute