JERNIH– Kebijakan likuiditas pemerintah Indonesia kembali menjadi sorotan setelah restrukturisasi kabinet pada September 2025, yang menandai pergeseran paradigma fiskal–moneter nasional. Purbaya Yudi Sadewa sebagai menteri keuangan segera “gas poll” dengan langkah agresif: pemindahan dana kas negara sebesar Rp200 triliun dari Bank Indonesia (BI) ke bank-bank Himbara untuk mempercepat transmisi kebijakan moneter dan mendukung ekspansi kredit ke sektor riil.
Langkah ini muncul di tengah pertumbuhan ekonomi yang mulai melambat—dari 5,2 persen yoy pada kuartal I menjadi 4,7 persen yoy pada kuartal III 2025—akibat perlambatan ekspor komoditas dan tekanan geopolitik yang menahan investasi asing langsung. Di sisi lain, inflasi headline stabil di 2,9 persen yoy, memberi ruang bagi BI untuk mempertahankan BI-Rate di 5,25 persen setelah penurunan kumulatif 125 bps sejak pertengahan 2024.
Pemindahan dana tersebut diatur dalam mekanisme Deposit on Call (DOC) berdurasi enam bulan (dapat diperpanjang) dengan imbal hasil 80–85 persen dari BI-Rate. Bank penerima dilarang menggunakan dana itu untuk membeli SBN, SRBI, atau instrumen moneter BI. Struktur ini memastikan bahwa dana benar-benar mengalir ke kredit produktif, bukan ke aset portofolio yang bersifat pasif. Kebijakan ini secara langsung memperbesar basis likuiditas sistem perbankan nasional hingga hampir 5 persen dari total DPK Himbara—suatu langkah yang belum pernah dilakukan sejak masa Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2020.
Rasional Ekonomi
Secara teoritis, kebijakan ini mengaktifkan kembali “credit channel” sebagai penguat transmisi moneter klasik. Bernanke & Gertler (1995) menyatakan bahwa external finance premium—selisih antara biaya pendanaan eksternal dan internal—akan menurun bila perbankan memperoleh likuiditas tambahan. Akibatnya, biaya kredit bagi debitur berkurang dan investasi meningkat.
Dalam konteks Indonesia, transmisi kebijakan moneter BI memang kerap terhambat oleh tingginya cost of fund dan kehati-hatian bank pasca-pandemi. Data OJK menunjukkan Loan-to-Deposit Ratio (LDR) Himbara per Agustus 2025 masih di level 83 persen, jauh di bawah prapandemi (92 persen). Sementara itu, pertumbuhan kredit nasional baru 7,4 persen yoy, tertinggal dari target BI sebesar 10 persen.
Suntikan likuiditas Rp200 triliun memberi efek langsung terhadap penurunan tekanan suku bunga dana pihak ketiga (DPK) dan menurunkan kompetisi antarbank dalam menghimpun deposito. Dampaknya, cost of fund menurun 30–50 bps di Himbara, membuka ruang untuk repricing bunga kredit korporasi dan KPR. Bila leverage multiplier mencapai 3–4 kali, total ekspansi kredit potensial bisa menembus Rp600–800 triliun dalam 12 bulan.
Dampak Makro
Injeksi likuiditas sebesar Rp200 triliun ini memperlebar base money dan menambah tekanan pada M2, yang kini tumbuh 6,7 persen yoy per September 2025. Kenaikan tersebut mendukung pemulihan permintaan agregat, tetapi juga meningkatkan risiko jangka menengah terhadap stabilitas harga. Namun, dengan output gap ekonomi Indonesia masih negatif sekitar -0,3 persen PDB potensial, risiko inflasi jangka pendek masih terbatas. Di sisi pasar keuangan, dampak awal terlihat pada turunnya IndONIA dari 5,05 persen menjadi 4,85 persen, serta penurunan imbal hasil SBN tenor 10 tahun ke kisaran 6,35 persen. Penurunan ini memperbaiki valuasi aset domestik, memperkuat kurs rupiah yang menguat tipis ke Rp15.250/USD, dan menurunkan premi risiko negara. Namun, pasar tetap waspada terhadap disiplin fiskal—karena peningkatan belanja dan pergeseran kas dapat menimbulkan persepsi ekspansif menjelang 2026.
Risiko Implementasi
Tantangan utama kebijakan ini terletak bukan pada likuiditasnya, tetapi pada kapasitas penyaluran dan kualitas kredit. Pengalaman 2020–2021 menunjukkan leverage tinggi tanpa screening yang ketat berujung pada kenaikan NPL (non-performing loan) sektor UMKM hingga 4,5 persen. Kini, OJK mencatat rasio NPL gross perbankan turun ke 2,3 persen, tetapi kualitas kredit UMKM masih rapuh akibat lemahnya permintaan.
Bank penerima DOC wajib segera menyalurkan dana dengan komitmen pelaporan bulanan ke Kemenkeu, termasuk indikator: (i) rasio kredit baru terhadap DOC, (ii) sebaran sektoral, dan (iii) entry NPL. Transparansi menjadi kunci agar likuiditas tidak kembali “parkir” dalam deposito antarbank atau surat berharga.
Koordinasi dengan BI juga sangat penting, terutama melalui pelonggaran Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dan insentif untuk kredit hijau dan digital. Jika ketiganya sinkron, transmisi akan lebih cepat dan risiko moral hazard berkurang.
Agenda Reformasi
Agar kebijakan ini berdaya dorong kuat dan tidak sekadar injeksi pasif, pemerintah perlu memperkuat empat hal strategis:
- Menetapkan KPI sektoral yang terukur: minimal 40 persen dana DOC harus mengalir ke sektor produktif (UMKM, pertanian, manufaktur, dan perumahan rakyat) dalam enam bulan pertama.
- Menerapkan skema performance-based roll-over: perpanjangan DOC dan penyesuaian suku bunga hanya bagi bank yang mencapai target kredit dengan NPL stabil di bawah 3 persen.
- Membentuk Public Credit Dashboard di bawah koordinasi Kemenkeu–OJK untuk menampilkan agregat penyaluran dan kualitas kredit tanpa membuka data bank secara individual.
- Menautkan kebijakan likuiditas dengan insentif sisi permintaan, seperti program penjaminan kredit UMKM, subsidi bunga KUR hijau, serta percepatan proyek belanja modal pemerintah.
Kombinasi ini menyatukan credit channel klasik dengan prinsip governance-based liquidity policy yang kini menjadi acuan OECD dan BIS pasca-pandemi: likuiditas hanya produktif bila disertai disiplin dan transparansi.
Prospek dan Kesimpulan
Pada periode 2025–2026 ini, injeksi likuiditas pemerintah ke Himbara berpotensi menambah pertumbuhan PDB 0,3–0,5 poin persentase melalui peningkatan investasi dan konsumsi kredit. Namun keberhasilan nyata bergantung pada koordinasi fiskal–moneter dan kemampuan perbankan mengonversi likuiditas menjadi kredit produktif.
Dengan BI yang cenderung dovish, inflasi terjaga, dan tekanan eksternal relatif moderat, ruang pertumbuhan terbuka. Tetapi jika disiplin fiskal melemah dan dana kembali “parkir” di portofolio, likuiditas hanya akan menurunkan efisiensi moneter tanpa menambah output riil. Pada akhirnya, “uang berputar” hanyalah oksigen; kualitas paru-parunya adalah tata kelola dan disiplin kebijakan.Jika tata kelola kredit dijaga, penempatan dana pemerintah dapat menjadi tonggak baru integrasi kebijakan fiskal–moneter Indonesia: pertumbuhan 6 persen tetap realistis tanpa mengorbankan stabilitas, dan sistem keuangan nasional memasuki era baru—di mana likuiditas bukan sekadar ketersediaan uang, tetapi keberanian terukur untuk menyalurkannya dengan produktif.
Perdana Wahyu Santosa
Besar Ekonomi, Dekan FEB Universitas YARSI dan Direktur Riset GREAT Institute


