MODEL PENGEMBANGAN NAZHIR INDONESIA

Pengertian nazhir pada ketentuan umum UU No 41 Tahun 2004 pasal 1, nazhir merupakan pengelola yang mendapatkan harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Dalam terminologi fikih Nazhir dimaknai sebagai penguasa aset wakaf, untuk mengelolanya, menjaga hasil perkembangannya, dan melaksanakan syarat/ketentuan yang tekah ditentukan wakif (pewakaf).

Nazhir berdasarkan undang-undang wakaf, diklasifikasikan menjadi 3 kategori nazhir, yaitu : nazhir perseorangan, nazhir organisasi, dan nazhir berbadan hukum. Untuk menjadi nazhir harus memenuhi persyaratan sebagaimana yang termaktub dalam UU No 41 Tahun 2004 Pasal 10 ayat. Seringkali muncul pertanyaan antara Nazhir organisasi dan Badab hukum, bukankah sama ?

Nazir organisasi yaitu, berupa lembaga keagamaan atau sosial berbadan hukum yang memiliki struktur organisasi untuk menjalankan fungsi nazir, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, pondok pesantren, Masyarakat Ekonomi Syariah, IKADI, DMI atau yayasan Islam lainnya yang memiliki unit atau divisi wakaf khusus. Sedangkan terkait organisasi yang dapat menjadi nazhir adalah sepanjang organisasi yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam, dengan syarat-syarat:

  1. pengurus organisasi harus memenuhi persyaratan nazhir perseorangan;
  2. salah seorang pengurus organisasi harus berdomisili di kabupaten/kota letak benda wakaf berada;
  3. memiliki:
    1. salinan akta notaris tentang pendirian dan anggaran dasar;
    2. daftar susunan pengurus;
    3. anggaran rumah tangga;
    4. program kerja dalam pengembangan wakaf;
    5. daftar kekayaan yang berasal dari harta wakaf yang terpisah dari kekayaan lain atau yang merupakan kekayaan organisasi; dan
    6. surat pernyataan bersedia untuk

Nazir badan hukum yaitu berupa institusi resmi seperti yayasan, koperasi, atau lembaga keuangan syariah yang memiliki dasar hukum serta izin untuk mengelola harta wakaf.Nazhir badan hukum yang melaksanakan pendaftaran harus memenuhi persyaratan:

  1. badan hukum Indonesia yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam;
  2. pengurus badan hukum harus memenuhi persyaratan nazhir perseorangan;
  3. salah seorang pengurus badan hukum harus berdomisili di kabupaten/kota benda wakaf berada;
  4. memiliki:
    1. salinan akta notaris tentang pendirian dan anggaran dasar badan hukum yang telah disahkan oleh instansi berwenang;
    2. daftar susunan pengurus;
    3. anggaran rumah tangga;
    4. program kerja dalam pengembangan wakaf;
    5. daftar terpisah kekayaan yang berasal dari harta benda wakaf atau yang merupakan kekayaan badan hukum; dan
    6. surat pernyataan bersedia untuk

Berdasarkan point b nazir badan hukum bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam. Sehingga berdadsarkan ketentuan ini Perseroan Terbatas (PT) tidak bisa sebagai nazhir.

Dalam UU No 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) pasal 4 dinyatakan bahwa “Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul maal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat”. Bank Syariah hanya berfungsi menerima dana zakat dan menyalurkan kepada pengelola zakat. Dalam pasal tersebut Nampak bahwa Bank Syariah tidak diperkenankan untuk mengelola dan menyalurkan dana zakat sendiri, melainkan harus melalui pengelola zakat, dalam hal ini Baznas atau LAZNAS. Posisi Bank Syariah dalam hal penghimpuan zakat dan LKS-PWU memberikan konsekuensi bahwa dana zakat dan wakaf yang dihimpun oleh pengelola zakat dan nazhir berada di rekening Bank Syariah.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tersebut menjadi pelengkap UU Nomor 41 tahun 2004, salah satunya adalah dengan menambah ketentuan perbankan Syariah yang awalnya hanya sebagai LKS-PWU menjadi dapat bertindak sebagai nazhir wakaf uang. Hal ini sejalan dengan kerangka kerja kebijakan Bank Indonesia guna mengoptimalkan penguatan keuangan Syariah, salah satunya melalui instrumen wakaf. Dengan keberadaan Bank Syariah sebagai nazhir, terbuka ruang optimalisasi yang lebih besar dalam mengelola aset-aset wakaf yang terbengkalai akibat kurangnya pendanaan, khususnya untuk memproduktifkan lahan-lahan wakaf. Hadirnya Bank Syariah sebagai nazhir menjadi solusi dari lambatnya realisasi wakaf uang di Indonesia yang sudah diluncurkan sejak lebih dari 10 tahun yang lalu. Terdapat beberapa kelebihan Bank Syariah sebagai nazhir. Pertama, besarnya jumlah nasabah yang berpotensi untuk menjadi wakif. Kedua, profesionalitas sumber daya manusia dalam hal investasi, manajemen resiko, hingga informasi teknologi. Ketiga, adanya jaringan yang luas dan hubungan baik dengan stakeholder. Keempat, pengawasan transaksi yang dilakukan secara lebih optimal oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Dewan Pengawas Syariah (DPS) (BWI,2023) .

Praktik wakaf uang yang melibatkan langsung Bank Syariah sebagai nazhir melalui produk deposito wakaf, dilakukan di negara Bangladesh. Beberapa analisis dari laporan keuangan Bank Syariah di Bangladesh adalah sebagai berikut: (1) Proporsi total dana wakaf uang terhadap total DPK bank pada tahun 2022 hanya sebesar 0,09%; (2) Produk wakaf uang yang masuk ke Bank Syariah adalah wakaf selamanya (perpetual) dengan nama produk bervariasi; (3) Wakaf uang dicatatkan dengan nama/tagging khusus (mis. “Cash waqf fund”) yang pencatatannya masuk ke dalam Deposit & other accounts; dan (4) Laporan keuangan Bank sebagai nazhir di Bangladesh tidak dipisahkan dengan bank sebagai lembaga keuangan.

Hasil penelitian Taha Institue yang disampaikan oleh Saptono (2023) sebagai masukan kepada Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah (DEKS) Bank Indonesia (BI) menyimpulkan beberapa hal. Pertama, Bank Syariah dapat melaksanakan peran sebagai lembaga nazhir wakaf uang sesuai mandat dalam UU No 4 Tahun 2023, dengan berlandaskan UU Wakaf dan UU Perbankan Syariah yang berlaku tanpa perlu melakukan amandemen terlebih dahulu atas UU tersebut. Penyesuaian dan harmonisasi peraturan perlu dilakukan ditingkat POJK dan PBWI saja khususnya terkait perizinan, pengawasan dan pelaporan pelaksaaan nazhir wakaf uang oleh bank diyakini mampu memobilisasi dana wakaf uang secara lebih massive dan efisien. Kedua, lembaga nazhir wakaf uang dapat dijalankan melalui kelembagaan LAZ yang sudah ada (perluasan kegiatan), dijalankan oleh suatu unit khusus didalam struktur organisasi bank atau membentuk anak Perusahaan (dalam bentuk Investment company), sejauh mendapatkan izin BWI. Adapun ragam kegiatan dapat merujuk pada aktivitas wali amanat (trustee) kebijakan produk dan investasi mirip dengan konsep perbankan yakni produk asset dan liabilitas, namun dengan parameter wakaf yang berprinsipkan kepatuhan Syariah, pertumbuhan asset, kebermanfaatan dan keberlanjutan.

Dalam Pembahasan Revisi UU NO 41 tahun 2004 sempat digulirkan konsep Nazhir Pemerintah, hal ini muncul karena Fakta di lapangan Kantor Urusan Agama terdapat 1.130 kantor yang berada di atas tanah wakaf, karena peruntukan dari wakif terdahulu untuk KUA, namun saat ini tidak dapat dibangun dengan bantuan negara karena bukan aset pemerintah. Tercatat informasi terdapat banyak madrasah negeri yang berada di atas tanah wakaf, namun nazhir tidak diketahui dan tidak dapat mengelola secara langsung karena peruntukkan dari wakif untuk sekolah, hal ini dikarenakan ada pemindahan dari sekolah swasta menjadi sekolah negeri atau madrasah negeri. Dalam hal ini ada opsi pemerintah menjadi nazhir guna optimalisasi pengelolaan wakaf untuk pelayanan publik masyarakat. Selain nazhir pemerintah ada upaya menjadikan satu antara nazhir organisasi dan badan hukum menjadi nazhir badan hukum.

Nurul Huda/Wakil Rektor Universitas YARSI/Ketua Lembaga Walaf MES/Ketua umum ILUNI UI KWTTI