Etos Kerja Wirausaha Muslim sebagai Modal Dasar Pengelolaan Wakaf

Etos kerja adalah semangat kerja yang didasari oleh nilai-nilai atau norma-norma tertentu. Etos kerja juga bisa dimaknai sebagai sikap atau pandangan manusia terhadap kerja yang dilakukan dan yang dilatarbelakangi nilai-nilai yang diyakininya. Nilai-nilai itu dapat berasal dari suatu agama tertentu, adat istiadat, kebudayaan, serta peraturan perundang-undangan tertentu yang berlaku dalam suatu negara.

Islam sebagai agama rahmatan li al-ālamīn, memberikan sumber-sumber normatif yang berkaitan dengan kerja, nilai kerja, dan etos kerja. Etos kerja harus didasarkan pada tiga unsur, yaitu tauhid, takwa, dan ibadah.

Tauhid akan mendorong bahwa kerja dan hasil kerja adalah sarana untuk mentauhidkan Allah swt sehingga terhindar dari pemujaan terhadap materi. Takwa adalah sikap mental yang mendorong untuk selalu ingat, waspada, dan hati-hati memelihara dari noda dan dosa, menjaga keselamatan dengan melakukan yang baik dan menghindari yang buruk. Sedangkan ibadah adalah melaksanakan usaha atau kerja dalam rangka beribadah kepada Allah swt, sebagai perealisasian tugas khalīfah fī al-ardh, untuk menjaga mencapai kesejahteraan dan ketentraman di dunia dan akhirat.

Etos kerja muslim didefinisikan sebagai sikap kepribadian yang melahirkan keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu bukan saja untuk memuliakan dirinya, menampakkan kemanusiaannya, melainkan juga sebagai suatu manifestasi dari amal saleh. Sehingga bekerja yang didasarkan pada prinsip-prinsip iman bukan saja menunjukkan fitrah seorang muslim, melainkan sekaligus meninggikan martabat dirinya sebagai hamba Allah yang didera kerinduan untuk menjadikan dirinya sebagai sosok yang dapat dipercaya, menampilkan dirinya sebagai manusia yang amanah, menunjukkan sikap pengabdian sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Dzariyat [51]:56)

Terkait dengan semangat kewirausahaan, bahwa semangat kewirausahaan di kalangan muslim juga terlihat dari pepatah bahasa Arab “Inna al-samā lā tumthiru dzahaban wa lā fidhdhatan” (Langit tidak menurunkan hujan emas dan perak, tetapi perlu dengan semangat kerja yang tidak mengenal lelah”. Atau kata bijak yang bisa diimplementasikan ke kehidupan yang nyata “ Artinya: “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya. Dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok pagi.

 Di mana terminologi “bekerjalah bagi duniamu seakan-akan kamu hidup abadi” yang menunjukkan kepada semua orang bahwa etos kerja orang muslim sangat bisa untuk diandalkan. Hubungan sosiologi dari semangat etos kerja akan terlihat dari penghasilan, keuntungan dan akumulasi kapital. Di mana manusia merupakan khalifah di muka bumi yang mempergunakan semua sumber daya yang ada di sekitarnya untuk memenuhi keinginan yang relatif tidak terbatas dalam semangat kewirausahaan.

Menurut ajaran agama Islam, konsep kewirausahaan memiliki dua bentuk dimensi; yakni dimensi vertikal (hablumminallah) serta dimensi horizontal (hablumminannas). Dimensi vertikal menghubungkan antara seorang muslim dengan Allah Swt, sementara dimensi horizontal

menghubungkan seorang manusia dengan sesamanya. Oleh karena itu, berwirausaha merupakan wujud menunaikan perintah Allah SWT dalam kewajiban memelihara mata pencaharian. Segala sesuatu membutuhkan kerja keras dan kerja keras untuk diperoleh dan diupayakan untuk dipertahankan, yang membutuhkan usaha.

Nilai yang dianut wirausahawan Muslim Keseimbangan Antara Duniawi Dan Ukhrowi Dalam Mencari Rizki sebagaimana Firman Allah dalam Q.S.Al-Qashash: 77 “ Dan carilah pada apa yang dianugerahkan Allah kepadamu untuk kebahagiaan di akhirat dan janganlah melupakan bagian kamu dari dunia dan bersikaplah baik sebagaimana Allah telah bersikap baik kepadamu, dan janganlah berbuat kerusakan di muka bumi, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

 Surah Al-Qashash ayat 77 setidaknya mengandung empat poin bahasan. Pertama, perintah mencari pahala untuk kehidupan akhirat, yang ada pada frasa wa ibtaghi fi ma ataka Allahu al-dar al-akhirat (Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu). Perintah ini merupakan firman Allah yang menarasikan ajakan kaum Qarun terhadapnya untuk mencari kebahagiaan ukhrawi dengan taat terhadap perintah Allah dan melakukan perbuatan baik. Begitu juga, ajakan agar Qarun tidak kelewat batas dalam urusan harta.

Kedua, larangan untuk melupakan bagian duniawi pada frasa wa la tansa nasibaka min al-dunya (janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia). Larangan ini sebenarnya bermakna al-ibahah (kebolehan) bagi Qarun untuk menikmati hartanya. Dicantumkannya larangan ini tak lain untuk mencegah anggapan bahwa menikmati hal-hal duniawi itu tidak boleh.

Ketiga, perintah untuk berbuat baik pada frasa wa ahsin kama ahsan Allah ilayk (dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu). Sebenarnya perintah ini sudah diakomodir oleh perintah untuk mencari bekal ukhrawi yang telah dijelaskan di atas. Penyebutannya kembali adalah untuk membangun argumentasi yang bersambung dengan kata setelahnya. Yakni, perintah berbuat baik sebagaimana Allah berbuat baik kepada Qarun. makna penyerupaan perintah berbuat baik kepada Qarun dengan yang Allah berikan kepadanya agar ia mensyukuri segala nikmat. Sedangkan, penghubung perintah ahsin dihilangkan dengan tujuan perintah berbuat baik mencakup segala hal; baik pada diri sendiri, kaumnya, dan seluruh makhluk Allah.

Keempat, larangan berbuat kerusakan di bumi pada frasa wa la tabgi al-fasad fi al-ard (dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi). Perintah ini bertujuaun sebagai peringatan agar tidak membungkus kebaikan dengan keburukan. Karena keburukan selalu menjadi kebalikan kebaikan. Sehingga, perintah berbuat baik adalah sama saja larangan untuk berbuat keburukan.

Bagaimana keterkaitan Etos kerja wirausahawan Muslim dengan penelolaan wakaf ? Baik wirausahawan Muslim maupun pengelola wakaf berpegang pada nilai-nilai tauhid, amanah, kerja keras, dan kejujuran. Wirausahawan Muslim berusaha mencari rezeki halal, mengembangkan usaha dengan niat ibadah. Pengelola wakaf (nazhir) mengelola harta wakaf agar tetap produktif dan memberi manfaat jangka panjang. Keduanya memiliki visi sama: memakmurkan umat dan mengabdi kepada Allah SWT melalui kerja yang berkualitas.

Etos kerja wirausahawan Muslim mendorong kreativitas, profesionalisme, dan inovasi dalam mengelola sumber daya. Dalam konteks wakaf, etos ini bisa diterapkan untuk: Mengelola aset wakaf secara produktif (misalnya membangun bisnis sosial, properti sewa, pertanian, atau lembaga pendidikan). Meningkatkan nilai ekonomi wakaf, sehingga hasilnya lebih besar untuk kemaslahatan penerima manfaat. Dengan etos kerja ini, wakaf tidak hanya diam sebagai aset sosial, tetapi menjadi sumber pemberdayaan ekonomi umat.

Nurul Huda/Wakil Rektor IV Universitas YARSI/Ketua Lembaga Wakaf MES/Ketua Umum ILUNI UI KWTTI.