Kesempatan Dalam Kesempitan

Siapapun yang hari ini melek info, apalagi yang berkecimpung di dunia Pendidikan tinggi, tentu mendengar kehebohan ulah sejumlah PTN terutama yang bersifat Badan Usaha (PTN-BH), ketika mereka secara tiba-tiba (?) menaikkan Uang Kuliah Tunggal (UKT).

Berdasarkan info yang beredar bahwa kenaikan tersebut juga bervariasi, tetapi umumnya signifikan, alias cukup besar. Konon ada yang dua kali lipat sampai ada yang sepuluh kali lipat. Maka tidak heran kalau mahasiswa meradang. Bahkan hari kemarin, Selasa 21 Mei 2024 Nadiem Anwar Makarim (Menteri Pendidikan, Kebudayaan dan Ristek RI) dipanggil Komisi X DPR untuk membahas masalah yang menyesakkan dunia pendidikan ini.

Secara makro dan nasional, tentu kita ikut prihatin. Karena kebijakan tersebut terasa aneh dan sekaligus paradoks dengan apa yang selama ini didengung-dengungkan, seperti hak pendidikan bagi warga negara sampai dengan impian mencapai Indonesia emas di tahun 2045 nanti.

Tetapi, secara mikro dan sekaligus bila menggunakan perspektif PTS, maka ini adaah sebuah peluang. Lho…?

Lalu, peluang apa yang dapat diraih di balik semua kisruh ini?

Rasanya dapat dicatat beberapa hal sebagai berikut. Pertama, bahwa ini dapat membangun kesadaran masyarakat bahwa pendidikan memang bukanlah jasa yang murah. Beruntunglah mereka yang selama ini berkesempatan mendapatkan Pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri (PTN), karena mereka mendapatkan penidikan dengan subsidi yang cukup besar.

Kedua, akan terjadi persaingan yang lebih “sehat” antara PTN dan PTS. Sebagaimana diketahui bahwa PTS selama ini berjuang tanpa mendapatkan subsidi Pemerintah. Maka, bila bila PTS dapat beroperasi dengan efisien, mereka akan dapat ‘mengalahkan’ PTN, yang mungkin selama ini sudah terbiasa ‘terbuai’ dengan subsidi Pemerintah.

Ketiga, dengan adanya ‘persaingan’ harga antara PTN Vs PTS, akan terjadi ‘pemerataan’ kualitas input Perguruan Tinggi (PT). Selama ini, calon mahasiswa pintar akan cenderung memburu PTN top, dengan pertimbangan – selain nama besar – bahwa uang kuliah atau UKTnya murah. Hasilnya, yang masuk ke PTS adalah mereka yang – suka tidak suka – sudah masuk kategori bukan yang terbaik lagi secara akademik, untuk tidak menyebut kelas kedua secara akademik. Karena yang kelas satu sudah diborong oleh PTN dengan segala kelebihannya.

Keempat, bahwa ini kesempatan besar bagi PTS untuk dapat mengharapkan jumlah mahasiswa baru dalam jumlah yang lebih besar, setelah adanya keluhan merata untuk beberapa program studi yang mengalami penurunan dalam beberapa tahun ini, baik karena dampak pandemi Covid19 dan melemahnya ekonomi serta daya beli masyarakat. Sehingga, bila PTS mau melancarkan marketing yang lebih gencar, maka tidak mustahil bahwa mereka akan mendapatkan kesempatan [menaikkan jumlah mahasiswa baru] dan kesempitan ini.

Wallahu a’lam bisshowab.

 

 

Muhammad Akhyar Adnan
Dosen FEB Universitas Yarsi