Sosialisasi, Literasi, Penegakan Hukum UU Jaminan Produk Halal Dinilai Masih Kurang

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Tokoh pegiat halal Indonesia, Dr. Ana Priangani Roswiem menilai bahwa Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) masih kurang disosialisasikan dan kurang ditegakan hukumnya. Sehingga literasi masyarakat dan pelaku usaha terkait halal masih kurang.
Ana yang juga Ketua Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) Universitas Yarsi mengatakan, sosialisasi halal harus ditingkatkan supaya masyarakat tahu ada UU JPH. Sehingga masyarakat tahu manfaat produk yang telah disertifikasi halal, dan tahu produk yang belum terjamin kehalalannya dapat merugikan.
“Kalau semua perusahaan (pelaku usaha) itu berusaha produk-produknya itu (disertifikasi) halal dan thayyiban tentunya (masyarakat atau konsumen) senang ya,” kata Ana kepada Republika, Rabu (30/7/2025)
Ia mengatakan, kalau masyarakat sebagai konsumen dan pelaku usaha tidak tahu penting dan wajibnya sertifikasi halal sebagaimana diatur dalam UU JPH, itu mungkin karena sosialisasi dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) masih kurang.
Ana menilai BPJPH dalam upaya mensosialisasikan tentang wajib halal belum terlalu masif. Di lapangan, menurutnya, pelaku usaha sering kali mengtakan bahwa bahan baku yang dipakainya sudah halal, sehingga tidak perlu disertifikasi halal.
“Padahal dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, (makanan) yang syubhat itu semakin banyak, makin banyak,” ujar Ana.
Garam Bisa Syubhat Hingga Haram
Ketua LPH Universitas Yarsi ini menerangkan, yang sering digunakan masyarakat sehari-hari saja seperti garam bisa syubhat dan tidak halal.
Ana menceritakan, garam dari air laut, kemudian dikeringkan oleh panas matahari. Setelah kering dibawa ke pabrik untuk dikristalkan. Tapi kalau garamnya tidak terlalu kering, garamnya bisa kempal (padat alias tidak gembur).
Ia menjelaskan, sekarang ada garam ketika ditaburkan di atas makanan dengan rata, rasa garamnya atau asinnya merata. Untuk membuat garam seperti itu, maka kondisi garam dibuat tidak kempal.
“Nah jadi itu (garam) harus dikasih anti kempal, nah masyarakat tidak tahu apa itu anti kempal, supaya garam itu tidak kempal jadi kalau ditaburkan bagus dan warnanya juga putih bersih,” jelas Ana.
Ia menjelaskan, bahan anti kempal itu bisa terbuat dari yang haram. Contohnya namanya garam asam lemak. Lemak dan minyak bisa berasal dari tumbuhan dan hewan. Dari lemak atau minyak itu dihidrolisis bisa terjadi gliserol dan asam lemak.
Artinya kalau hewannya disembelihnya tidak dengan cara halal, lemak yang dipakai untuk membuat anti kempal pada garam bisa jadi tidak halal.
“Jadi walaupun lemak dari sapi, kalau tidak disembelih dengan secara syariah, tidak halal,” ujarnya.
Ana menegaskan, jadi untuk menentukan garam itu halal atau haram harus disertifikasi halal. Sehingga masyarakat atau konsumen tahu bahwa garam dapur yang dipakainya sudah halal, terlihat dari logo halal yang menempel.
Ana menegaskan, jadi meningkatkan literasi dan sosialisasi halal itu harus. Termasuk penegakan hukum bagi yang tidak patuh pada UU JPH. Karena UU JPH sudah mewajibkan sertifikasi halal.
“Ini kan diwajibkan, produk yang masuk di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal, banyak yang tidak tahu masyarakat,” ujarnya.