KOMPAS.com – Universitas Yayasan Rumah Sakit Islam (Yarsi) menggelar webinar nasional mengangkat isu terkait penerimaan mahasiswa baru (PMB) di perguruan tinggi negeri (PTN) yang dikhawatirkan munculnya kompetisi tidak sehat, baik antarkampus negeri maupun dengan perguruan tinggi swasta.
Webinar nasional Universitas Yarsi ini mengangkat tajuk “Seleksi Ujian Mandiri PTN: Buat Gaduh Penerimaan Mahasiswa Baru PTS, Retorika atau Kenyataan?” digelar pada 12 Agustus 2021.
Dalam awal diskusi, Prof. Jurnalis Uddin, Ketua Umum Aliansi Penyelenggara Perguruan Tinggi Indonesia (Apperti) menyorot soal masih rendahnya APK (angka partisipasi kasar) pendidikan tinggi di Indonesia.
“Masih sekitar 30 persen. Di Malaysia hampir 40 persen, Thailand di atas 50 persen. Jadi kita ini di taraf ASEAN tidak begitu bagus. Ada 3.200 PTS, kontribusi PTS ini besar dalam peningkatan APK. Jadi kalau ada masalah di PTS maka akan memberikan dampak pada APK,” ungkap Prof. Jurnalis.
Masa pandemi ini, tambah Prof. Jurnalis, memberikan pengaruh luar biasa bagi PTS di mana banyak mahasiswa tidak mampu membayar kuliah akibat dampak ekonomi yang terjadi.
Prof. Jurnalis menyampaikan, persoalan ini makin diperburuk dengan kondisi penerimaan mahasiswa baru yang juga menurun selama pandemi dan ditambah lagi persaingan dengan perguruan tinggi negeri yang membuka lebih banyak kuota untuk mahasiswa baru.
“Mungkinkah kita (PTS) bisa mendapatkan keringanan dari Pemerintah? Bukan subsidi dari Pemerintah, tetapi keringanan dalam hal perpajakan. Misal PPN (tadinya) 10 persen, tidak perlu nol persen tetapi 5 persen saja. Saya kira itu sudah sangat membantu,” ujar Prof. Jurnalis.
Demikian pula dengan PPh 23 dan 25, yang menurut Ketua Umum Apperti ini, jika mendapat pengurangan bisa membantu PTS untuk tetap dapat bertahan dan mengembangkan diri di masa pandemi ini.
“Mudah-mudahan dengan perhatian Pemerintah ini, kita bisa menaikkan APK kita tidak hanya 30 persen melainkan bisa lebih dari 50 persen,” harap Prof. Jurnalis.
Kompetisi bisnis penerimaan mahasiswa baru
Dalam kesempatan sama, Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Budi Djatmiko, mengingatkan pentingnya Indonesia memiliki desain besar arah pendidikan.
“Indonesia harus memiliki grand design pendidikan, dari pendidikan usia dini sampai perguruan tinggi. Ini permintaan kami dari 2014, 2016, dan 2017,” ujar Budi Djamiko.
Budi Djatmiko mengangkat persoalan keberpihakan Pemerintah yang terlihat masih memperioritaskan PTN. “Keberpihakan Pemerintah lebih cenderung kepada PTN,” ungkapnya.
Budi mencontohkan dari sisi penyaluran KIP Kuliah yang persentase antara PTN dan PTS sama sebesar 10 persen, meski dari jumlah PTS jauh lebih banyak (sekitar 4.500 PTS) dibandingkan PTN (sekitar 100 PTN).
“Tetapi alhamdullilah, tahun ini dan tahun kemarin sekarang KIP naik bertambah banyak,” ujar Budi Djatmiko.
Budi berharap peran PTN ke depan dapat lebih difokuskan sebagai alat negara dan tidak berorientasi bisnis mencari keuntungan dalam menyelenggarakan pendidikan, dan bersaing dengan PTS.
Hal senada disampaikan Syaiful Huda, Anggota Komisi X dari Fraksi PKB. “Ketika kampus negeri terjebak kepada memperbanyak mahasiswa, tanpa disadari sesungguhnya mendegradasi seluruh capaian yang telah dicapai kampus-kampus negeri kita,” ungkap Syaiful.
Syaiful menegaskan, “perlombaan” antarkampus negeri untuk mengejar jumlah mahasiswa harus segera dihentikan.
“Semakin bercarut marut dunia perguruan tinggi kita di mana semestinya tidak terjadi kompetisi perguruan tinggi negeri dan swasta. Levelnya tidak hanya sekadar kompetisi tetapi sudah menciptakan gap atau ketimpangan cukup mendalam terkait isu ini,” ungkapnya.
Untuk itu, Syaiful mendorong Pemerintah cukup memberikan peta jalan dan menjadi fasilitator dalam memberikan afirmasi dukungan lebih terhadap perguruan tinggi swasta.
“Semangatnya adalah supaya tercipta ekosistem pendidikan yang lebih adil dunia pendidikan nasional kita. Atau bahasa mudahnya, jangan anaktirikan perguruan tinggi swasta kita,” tegasnya.
Wacana pembatasan PMB di kampus negeri
Pembicara lain, Indriani, Jurnalis Antara menyapaikan peran PTS sangat besar dalam upaya meningkatkan APK Pendidikan Tinggi Indonesia. Dengan jumlah hampir 4.500 kampus dan 8,8 juta mahasiswa, PTS menjadi daya ungkit kenaikan APK Indonesia dari 31,6 persen (2016) menjadi 36,16 persen (2020).
“Jika PTS mengalami dampak akibat pandemi, maka akan turut berpengaruh pada APK Pendidikan Tinggi kita,” tegas Indri.
“Sayangnya wacana Pemerintah untuk melakukan pembatasan jumlah mahasiswa PTN sejak 2017 belum terealisasi sampai sekarang,” tambahnya.
Prof. Nizam, Sekjen Pendidikan Tinggi (Dikti) menyampaikan kenaikan APK harus juga diikuti dengan peningkatan kualitas pendidikan tinggi dalam mempersiapkan SDM unggul agar siap menjawab tantangan Bonus Demografi dan Indonesia Emas 2045.
Dalam upaya mencapai target APK sebesar 37 persen di tahun 2024, sejumlah strategi dilakukan Ditjen Dikti, di antaranya; peningkatan kapasitas PTN dan merger PTS kecil, transformasi UT menjadi UT Cyber dan memperluas PJJ, beasiswa yang lebih tepat sasaran dan perbaikan tata kelola dan mutu perguruan tinggi.
Selain itu, terkait alokasi bantuan UKT untuk mahasiswa, Prof. Nizam mengungkapkan bantuan untuk mahasiswa PTS jauh lebih besar yakni mencapai 70 persen dibandingkan PTN.
“Karena kita tahu, mahasiswa-mahasiswa di daerah sangat terdampak akibat pandemi. Dan kita berikan bantuan UKT untuk adik-adik kita di PTS yang membutuhkan bantuan tadi,” ujarnya.
PR bersama meningkatkan kualitas PTS
Menjawab isu kuota PTN dalam penerimaan mahasiswa baru (PMB), Prof. Nizam secara tegas menyampaikan Ditjen Dikti memantau secara serius hal ini karena akan berdampak langsung terhadap kualitas.
“Untuk kuota mahasiswa baru ini tentu kita sesuaikan dengan kapasitas. Tidak kita berikan di luar kapasitasnya. Itu kita pantau betul,” tegas Prof. Nizam.
“Kita lihat rasio mahasiswa dan dosennya, kita lihat sumber dayanya. Kalau rasionya terlampaui pasti akan terdampak pada akreditasi, terdampak pada rapornya di Dikti. Dan itu akan berdampak pada pendanaan perguruan tinggi pada yang negeri,” tambahnya lagi.
Sedangkan dari sisi peningkatan kualitas pendidikan tinggi, Prof. Nizam menyampaikan pihaknya terus mendorong akselerasi mutu PTS.
“Perguruan tinggi swasta yang saat ini mungkin kualitasnya masih kurang itu kita akselerasi untuk bisa menjadi baik, baik sekali atau unggul, baik perguruan tingginya maupun prodinya.
Dirjen Dikti melihat masih minimnya PTS yang terakreditasi A (6,91 persen) menjadi pekerjaan rumah bersama antara Pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan terkait dalam meningkatkan kualitas pendidikan tinggi.
“Mari kita dorong yang (akreditasi) B (46,38 persen) menjadi A dan yang C (21,45) menjadi B. Dan terutama yang belum terakreditasi baik PTN maupun PTS agar terakreditasi,” ujar Prof. Nizam.
“Mudah-mudahan dengan kerja sama kita, kolaborasi kita, akan bisa memperkuat perguruan tinggi kita ke depan. Semakin maju, semakin bisa memastikan SDM unggul yang dibutuhkan untuk Indonesia Emas yang kita cita-citakan bersama,” pungkas Prof. Nizam.