Dengue naik lagi

Menurut WHO maka Dengue adalah infeksi virus DENV yang ditularkan melalui gigitan nyamuk. Ada 4 tipe virus dengue, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Sekitar separuh penduduk dunia ber risiko mendapat dengue, dengan perkiraan sampai 100–400 juta infeksi di dunia setiap tahunnya. Dengue ini bervariasi gejala kliniknya, dari yang ringan sampai yang amat berat sampai kematian.

WHO menyatakan bahwa insidens dengue meningkat secara dramatis dalam dekade terakhir di dunia, meningkat dari 505.430 kasus di tahun 2000 melonjak menjadi 5,2 juta pada tahun 2019. Data lain berdasar “modelling” memperkirakan terjadinya 390 juta infeksi dengue per tahunnya di dunia, dimana diantaranya hanya sekitar 96 juta yang bermanisfestasi secara klinik dengan jelas. Jadi memang harus diketahui juga bahwa cukup banyak kasus yang tidak terdiagnosis dengan baik dan hanya disebut sebagai penyakit demam (“febrile illnesses”). Satu penelitian lain lagi bahkan menyebutkan bahwa ada sekitar 3,9 milyar penduduk dunia yang ber risiko terinfeksi virus dengue.

WHO menyatakan bahwa dengue tercatat sebagai penyakit endemik di lebih dari 100 negara di dunia. Disebutkan juga bahwa 70% kasus dengue di dunia terjadi di benua Asia. Data dari WHO Asia Tenggara menyebutkan bahwa Indonesia adalah salah satu 30 negara didunia yang endemik tinggi dengue (“30 most highly endemic countries in the world”).

Berita di berbagai media menyebutkan peningkatan kasus dengue di beberapa daerah. Ada beberapa kemungkinan penyebab naiknya kasus, seperti tertera di bawah ini, dan harus dianalisa mendalam tentang apa yang sekarang terjadi di negara kita dan harus ditangani segera yang mungkin dilakukan (tentu kalau musim hujan dan fenomena alam lain tidak dapat diintervensi), yaitu:

  • seasonal patterns, sehubungan sekarang musim hujan
  • suhu udara dan lingkungan kini, serta aspek kelembaban
  • tingginya angka populasi nyamuk (“high mosquito population”)
  • kerentanan pada serotipe virus yang bersirkulasi sekarang ini
  • kurangnya program proaktif yang selama ini berjalan, mungkin prioritas lain yang lebih dilakukan
  • lemahnya sistem surveilan yang akan dapat menyebabkan kelambatan pencatatatn pelaporan dan respon, serta juga luput dalam mengidentifikasi tanda dan gejala yang berhubungan dengan terjadinya penyakit dengue berat
  • mungkin saja ada keterbatasan alat diagnosis dini (“dengue diagnostic kits”)
  • tentang SDM, maka diperlukan petugas pengendali vektor, bukan hanya petugas yang menangani klinik pasien
  • yang juga amat penting tentu peningkatan komunikasi risiko dan keterlibatan serta partisipasi aktif masyarakat.
  • pada dasarnya adalah lebih menggalakkan program kesehatan di berbagai lapisan langsung di masyarakat, tidak hanya di rumah sakit dengan alat-alat super canggih saja.

Bahkan, di negara kita kenaikan ini tidak hanya terjadi pada kasus dengue, tapi juga terjadi pada kasus kematian. Tercatat, di tahun 2018 “case fatality rate” dengue negara kita sebesar 0,71%, yang meningkat jadi 0,86% di tahun 2022. Saya belum punya angka tahun 2023.

Menurut WHO maka pencegahan dan pengendalian dengue utamanya bergantung pada pengendalian vektor (“vector control”), ini kunci utama pencegahan penularan. Kalau sudah jatuh sakit maka tidak ada obat yang spesifik untuk membunuh virus dengue (DENV). Deteksi awal dan akses pada pelayanan kesehatan yang baik merupakan kunci utama untuk menurunkan angka kematian, apalagi kalau diberitakan bahwa Indonesia target bersama mencapai nol kematian akibat dengue di tahun 2030 (“zero dengue death by 2030”). Jadi, pengendalian dengue memang harus bersifat menyeluruh.

Rekomendasi WHO pada Desember 2023 menyebutkan beberapa yang perlu dilakukan:

  • Penanganan vektor kontrol yang efektif
  • Surveilan entomologi
  • Jaminan ketersediaan laboratorium
  • Penanganan kasus
  • Meningkatkan surveilan kasus
  • Komunikasi risiko dan perlubatan aktif masyarakat (“Risk communication and community engagement – RCCE”)

Tentang pendekatan dengan  nyamuk berWolbachia, sejauh ini memang masih merupakan penelitian dan belum merupakan program resmi.

 

Prof Tjandra Yoga Aditama
Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI