Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) Syaiful Huda mengatakan, pemerintah jangan anaktirikan perguruan tinggi swasta, berikan akses dan tunjukkan keadilan agar tercipta ekosistem yang baik bagi dunia pendidikan tinggi nasional di masa datang.
Ungkapan itu disampaikan Syaiful saat menjadi salah satu pembicara Webinar: “Seleksi Ujian Mandiri PTN, Buat Gaduh Penerimaan Mahasiswa Baru PTS, Retorika atau Kenyataan?” yang diusung oleh Universitas YARSI, didukung Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) dan Aliansi Penyelenggara Perguruan Tinggi Indonesia (APPERTI), Kamis (12/8/2021) secara virtual melalui Zoom Meeting dan live streaming di YouTube YARSI-TV.
Webinar ini dibuka oleh Ketua Panitia Prof. Dr. H. Nurul Huda, S.E., M.M., M.Si. (Wakil Rektor IV UY) dengan welcome speech oleh Prof. dr. Fasli Jalal, Ph.D. (Rektor Universitas YARSI). Selain Syaiful Huda juga menampilkan para pembicara terdiri dari Prof. Ir. Nizam, M.Sc., DIC, Ph.D (Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemdikbud Ristek RI); Prof. Dr. Ir. H. M Budi Djatmiko, M.Si (Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia/APTISI); Prof. dr. H. Jurnalis Uddin, PAK (Ketua Umum Aliansi Penyelenggara Perguruan Tinggi Indonesia/APPERTI); dan Indriani (Reporter Antara News Agency), serta dipandu oleh Usman, S.Sos., M.Ikom (Humas UY) sebagai moderator.
Ada lima hal objektif yang diutarakan Syaiful. Pertama, telah terjadi relasi kurang sehat antar perguruan tinggi negeri (PTN) yang dicermatinya saling berlomba-lomba untuk memperbanyak mahasiswa. Ketika terjadi kompetisi itu, PTN telah mengabaikan fungsi kampus sebagai central of excellent (pusat keunggulan ilmu pengetahuan).
“Seharusnya, PTN semangatnya tidak berkompetisi mendapatkan mahasiswa baru sebanyak-banyaknya, namun bagaimana masing-masing PTN bisa menguatkan dan mengembangkan keunggulan prodi-prodi (program studi) tertentu untuk saling berkolaborasi antar sesama PTN,” kata Syaiful.
Sekali lagi Syaiful menegaskan, semangat PTN seharusnya kolaboratif, bukan kompetitif. Jika kompetisi itu masih diterapkan, akan berakibat kurang baik bagi perkembangan ekosistem dunia pendidikan tinggi Indonesia di masa datang dan kontraproduktif dengan semangat kolaboratif yang semestinya diciptakan oleh PTN. Terlebih lagi sebagian PTN sudah berubah status menjadi PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum).
PTN-BH adalah perguruan tinggi negeri yang didirikan oleh pemerintah yang berstatus sebagai badan hukum publik yang otonom. Dahulu dikenal sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dan Badan Hukum Pendidikan (BHP). Sampai dengan tahun 2020, terdapat 12 PTN di Indonesia berbentuk BHMN. Empat perguruan tinggi pertama yang ditetapkan secara bersamaan sebagai BHMN adalah Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Institut Teknologi Bandung (ITB). PTN BHMN ini memiliki otonomi penuh dalam mengelola anggaran rumah tangga dan keuangan. (https://id.wikipedia.org)
“Model PTN yang mencari mahasiswa sebanyak-banyaknya harus disetop, karena hal itu akan meninggalkan tradisi yang pernah dicapai oleh kampus-kampus negeri kita,” ucap Syaiful.
Objektif kedua adalah relasi antar PTN dengan PTS, kata Syaiful PTN telah mengambil ‘ceruk’ (ruang) yang semestinya menjadi milik PTS yang mengakibatkan semakin carut-marutnya suasana pendidikan tinggi di Indonesia. Tidak hanya berkompetisi dalam menjaring mahasiswa baru, namun lebih dari itu, PTN dan PTS sudah menciptakan ‘gap’ atau ketimpangan yang dalam melampaui narasi kompetisi yang sehat.
Ketiga, pemerintah perlu membenahi supaya tidak terjadi kompetisi tidak sehat terkait penerimaan mahasiswa baru yang dirasa kurang adil. Hal lain, yang lebih perlu diperhatikan pemerintah adalah segera membuat sebuah peta jalan (roadmap) yang objektif, sehingga tercipta ekosistem yang adil bagi PTS.
“Kita perlu mendorong terus-menerus agar pemerintah membuat blueprint peta jalan pendidikan dan pemerintah harus mampu menjadi fasilitator yang baik untuk pertumbuhan ekosistem dunia pendidikan tinggi di Indonesia,” ujar Syaiful.
Keempat, pemerintah sedapatnya memberikan afirmasi kebijakan yang lebih kuat lagi pada PTS, tidak hanya bertumpu pada policy belaka, namun juga keleluasaan akses anggaran yang adil.
Syaiful meminta agar hal ini manjadi PR (pekerjaan rumah) yang senantiasa harus disuarakan dengan kritis, terutama APTISI agar memberikan saran dan sumbangsih secara objektif kepada pemerintah sesuai dengan harapan dan cita-cita seluruh perguruan tinggi swasta seluruh Indonesia.
Terakhir, yang kelima adalah PTS harus berani melakukan kritik dengan sekuat tenaga untuk percepatan adaptasi terhadap disrupsi dunia pendidikan yang terjadi akhir-akhir ini sungguh luar biasa. Maka dari itu, selain adaptasi perguruan tinggi juga harus mampu melakukan transformasi, apalagi bila ditunjang fasilitas dan afirmasi pemerintah, Syaiful berkeyakinan, bangsa Indonesia akan menemukan momentum terbaik untuk kemajuan dunia pendidikan tingginya.
“Saya akan berusaha terus mendorong pemerintah agar bisa berkolaborasi, memfasilitasi, dan mengafirmasi perguruan tinggi swasta melakukan adaptasi dan transformasi yang kuat menghadapi era disrupsi dunia pendidikan,” ucap Syaiful.
“Semoga segera ada titik temu afirmasi pemerintah yang adil terhadap PTS, agar terciptanya ekosistem yang baik pada dunia pendidikan tinggi Indonesia,” ujar Syaiful.
Kami di Komisi X DPR RI, lanjut Syaiful, secara maksimal sedang terus memperjuangkan alokasi anggaran negara 20% untuk pendidikan atau setara dengan Rp.580 triliun di tahun 2021 yang belum sepenuhnya digunakan. Padahal, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI baru mengelola sekitar 30% dari anggaran tersebut atau sekitar Rp.80 triliun. Selebihnya menyebar ke kementerian dan lembaga lain, serta daerah-daerah.
“Kalau anggaran pendidikan itu sepenuhnya dikelola oleh Kemendikbud, meski tidak semuanya mungkin 80% saja, kita bisa lihat akan ada percepatan afirmasi anggaran kepada PTS-PTS kita di seluruh Indonesia,” ungkap Syaiful.
Terkait dengan policy pemerintah, kapan PTS bisa menjadi anak kandung, menurut Syaiful kuncinya adalah kebijakan. Dirinya sangat merindukan bagaimana pemerintah punya kebijakan yang menjadikan PTS juga anak kandung negara dan pemerintah layaknya PTN.
Mengenai kapan waktunya, Syaiful mengatakan lebih dari dua tahun ke depan. Dalam kurun waktu itu, dirinya dan Komisi X DPR RI akan mencoba meletakkan kebijakan-kebijakan dasar yang bisa mencapai percepatan PTS menjadi anak kandung di negara ini. Tentu tidak mudah, sebab akhir-akhir ini ada tren kebijakan kurang trust (percaya) terhadap keberadaan PTS-PTS di Indonesia. Sehingga, banyak kita temui universitas-universitas bonafide luar negeri (asing) membuka proses perkuliahan di dalam negeri.
“Hal itu membuat tantangan yang kita hadapi menjadi semakin berat, terutama PTS. Namun demikian, kita akan cari titik temu yang terbaik, bagaimana supaya bisa terjadi keadilan bagi PTS yang sudah mengabdi cukup lama di negara kita,” pungkas Syaiful mengakhiri. (ART)