Kupas ChatGPT dan Strategi Adopsi Teknologi AI, Yarsi Jadi Innovator Era AI

Generative Pre-trained Transformer-3 (GPT-3) merupakan algoritma dikembangkan oleh Open Artificial Intelligence (AI), sebuah laboratorium riset AI yang berbasis di San Fransisco.

Sedangkan Generative Pre-Trained (GPT) merupakan algoritma menggunakan deep learning dapat menulis teks secara alami berdasarkan masukkan teks diberikan.

GPT-3 berarti sudah versi ke-3, sebelumnya ada GPT dan GPT-2, tapi dipakai ChatGPT adalah GPT-3. Model terbaru sekarang.

Sebanyak 31 peneliti dan engineer dari OpenAI mempublikasikan paper GPT-3 pada 28 Mei 2020. ­­­Algoritma menggunakan deep learning ini dapat menulis teks secara alami berdasarkan masukkan teks diberikan.

Pada 30 November 2022, OpenAI meluncurkan prototipe ChatGPT, sebuah chatbot dibangun di atas model berbasis GPT-3. Dalam waktu sepekan, ChatGPT sudah memiliki lebih dari satu juta pengguna dan menjadi fenomena global.

Semua ini pernyataan Kepala Pusat (Kapus) Penelitian E-Health dan Artificial Intelligence Universitas Yarsi, Chandra Prasetyo Utomo kepada Usman dari Kabar Yarsi  saat berbincang terkait fenomena ChatGPT, kemarin.

Lebih jauh, Pak Chandra sapaan akrab Chandra Prasetyo Utomo mengatakan,maraknya perbincangan ChatGPT biasanya terkait dua hal utama, kemampuan ChatGPT dalam menulis respons dan dampak ChatGPT pada berbagai sektor di masa depan.

Berbagai pihak memberikan komentar positif terkait kemampuan ChatGPT. Kevin Roose pada The New York Times menyatakan ini sebagai “chatbot AI terbaik  pernah diluncurkan ke publik”. Samantha Lock pada The Guardian mencatat ChatGPT dapat menghasilkan teks dengan detail mengagumkan dan mirip tulisan manusia. Dan Gillmor, seorang jurnalis dan penulis di bidang teknologi, menilai teks dihasilkan ChatGPT setara dengan  siswa cerdas pada beberapa tugas akademik.

Kemudian selain diskusi terkait kemampuan ChatGPT, diskusi terkait dampaknya di masa depan juga tak kalah mendominasi perbincangan sejauh ini, baik itu dampak positif maupun negatif.

Pak Chandra mengutip, Profesor Steven Mintz dari University of Texas at Austin menganggap ChatGPT sebagai alat bantu, bukan musuh. Ia menganggap AI dapat membantu berbagai tujuan akademis seperti membuat daftar pustaka dan menghasilkan draf awal.

Lebih dari itu, pemikiran AI sebagai alat bantu pula mendasari kolaborasi riset FKG dan FTI Universitas Yarsi dalam mengembangkan Teledentistry berbasis AI.

Risetnya dipimpin Dr. drg. Chaerita Maulani, Sp.Perio ini mendapatkan pendanaan Hibah Desentralisasi Dikti 2022 dan dikembangkan bersama University of Illinois at Chicago (UIC) dan IIUM, Malaysia.

Menurut Kapus Penelitian E-Health dan AI Universitas Yarsi, sistem pertama dikembangkan adalah Yarsi Systematic Review Language Automation (Yasirlana). Sistem ini diharapkan dapat membantu akademia melakukan proses systematic review lebih efisien dan membantu dokter menemukan referensi pengobatan dan perawatan terbaru dari kasus yang sedang dihadapi.

Gap Adopsi AI

Masih menurut Pak Chandra, potensi dampak negatif dari ChatGPT juga ramai diperbincangkan. Ada banyak kritik dari kalangan pendidik, jurnalis, ekonom, seniman, politisi, dan sebagainya.

ChatGPT dapat menulis bagian abstrak dan pendahuluan artikel ilmiah, bahkan sudah ada  menuliskan ChatGPT sebagai salah satu co-author. Hal ini tentunya mendorong kekhawatiran terkait pelanggaran etika.

Pak Chandra bercerita, pada Januari 2023, salah satu forum bergengsi di bidang AI, International Conference on Machine Learning (ICML), telah melarang penggunaan ChatGPT dan model AI lainnya untuk menuliskan teks pada artikel yang dikumpulkan. Pelarangan penggunaan ChatGPT juga telah dilakukan di berbagai institusi pendidikan.

Sam Altman, CEO OpenAI yang mengembangkan ChatGPT, heran kenapa orang baru heboh ChatGPT saat diluncurkan. Padahal, model AI dan API-nya sudah mereka publikasikan jauh sebelumnya dan tersedia secara publik. Ia berpikir sudah banyak pihak telah bermain model tersebut, mengembangkan algoritmanya,bahkan membuat aplikasinya. Ternyata anggapan tersebut tidak tepat. Dengan demikian, terdapat gap yang jelas antara model AI  telah dipublikasikan peneliti dengan aplikasi dikembangkan pengguna.

Masih cerita Pak Chandra , terkait ChatGPT, Sam juga menambahkan model AI diterapkan untuk ChatGPT kini sebenarnya masih bisa ditingkatkan. Namun, dia dan Open AI ingin melihat dulu bagaimana respons publik dan dampak sosial ditimbulkan.

Dari sini, kita bisa melihat sebenarnya ada banyak model AI bagus telah dipublikasikan, sebagian memiliki kemampuan melewati human level performance. Ada model dapat mengolah teks, mendiagnosa penyakit, melakukan analisis finansial, memberikan rekomendasi pengobatan, dan sebagainya.

Namun, tidak semua model tersebut bisa sampai ke pengguna. Para peneliti AI terlalu fokus membuat dan meningkatkan performa model. Di sisi lain, para calon pengguna potensial belum sepenuhnya sadar ada berbagai pekerjaan rutin bisa dilakukan efektif dan efisien dengan bantuan AI.

“Kalau pun mereka sudah sadar, tidak semua bisa memahami dan mengadopsi model AI sehingga bisa diimplementasikan,”ujar Pak Chandra.

Sinergi Mulitidisiplin

Dosen Teknik Informatika  Universitas Yarsi melanjutkan ceritanya, berkaca dari gap antara hasil penelitian dan adopsi model, kolaborasi antara peneliti AI dan pengguna potensial dari model AI mutlak dilakukan. Peneliti AI memiliki kompetensi pada modeling dan pengembangan aplikasi sedangkan pengguna memiliki problem statement dan data.

Salah satu bentuk kolaborasi ini tercermin dari rangkaian aktivitas antara Yarsi dan University of Nottingham (UoN) pada November 2022. Profesor Mohammad Ilyas bersama tiga kolega dari Faculty of Medicine & Health Sciences, UoN melakukan kunjungan dan diskusi riset di AI Center, Universitas Yarsi.

Salah satu ingin dikembangkan adalah sistem yang dapat menerima sample gambar digital dengan dimensi yang besar, kemudian dapat secara otomatis dan akurat melakukan anotasi dan diagnosa terhadap tipe kanker dari sample tersebut.

Prof Ilyas juga memberikan kuliah umum dengan judul “Digital Pathology and the Roles of AI” kepada para dosen dan mahasiswa FTI Yarsi supaya mendapatkan gambaran komprehensif terkait digital pathology, tantangan, dan peluang ke depannya.

Karya dan Upaya Universitas Yarsi terkait AI,  tahun 2022, Tim Universitas Yarsi dipimpin dr. Yulia Suciati, M.Biomed, Ph.D.  sukses meraih pendanaan Matching Fund Kedaireka untuk mengembangkan prototipe sistem cerdas berbasis AI untuk deteksi kanker serviks. Luaran dihasilkan diantaranya publikasi ilmiah dan prototipe diagnosa normal dan abnormal pada papsmear konvensional.

Tahun 2023 ini, tim multidisiplin dari FK Yarsi dan FTI Yarsi akan mengembangkan digital pathology platform bekerja sama dengan mitra industri PT PathGen Diagnostik Teknologi. Platform ini ditujukan sebagai sarana diskusi kasus (second opinion) bagi para klinisi khususnya patolog dalam menegakkan diagnosis dan membantu pelaksanaan ujian patologi (pengajaran) untuk para calon dokter spesialis.

Selain itu, platform digital ini juga ditujukan menghasilkan basis data onkologi terintegrasi dan model AI untuk mendukung proses data-driven policy making di Indonesia.

Tentunya Universitas Yarsi berharap dapat menjadi pemain dan innovator pada era AI saat ini dan dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri. “Universitas Yarsi tidak sekedar menjadi komentator dan pengamat dari teknologi fenomenal seperti ChatGPT,” cakap Pak Chandra.

Hingga kini berbagai inisiatif pengembangan dan implementasi AI telah dilakukan Yarsi melalui Laboratorium AI dalam hal pengajaran dan Pusat Penelitian E-Health dan Artificial Intelligence serta dalam hal penelitian.

Berbagai inovasi pendidikan telah dilakukan agar mahasiswa dan dosen memiliki skill dan kompetensi AI relevan dan dibutuhkan untuk menjawab berbagai tantangan.

Kolaborasi mulitidisiplin juga telah dilakukan dengan berbagai pihak, baik itu di internal Universitas Yarsi, rumah sakit, institusi pendidikan, lembaga pemerintah maupun industri.

Dosen TI Universitas Yarsi.  meyakini, strategi terbaik mendukung kesuksesan adopsi teknologi AI dengan sinergi multidisiplin dan multisektor yang saling menghormati (mutual respect).

Sudah menjadi rahasia umum salah satu penghambat utama inovasi di Indonesia adalah tingginya ego sektoral.

Jika menginginkan kerjasama produktif, maka setiap pihak harus dapat mengakui keunggulan dan keterbatasan masing-masing, memahami setiap tantangan dihadapi, dan komitmen untuk menuntaskan insiatif yang telah disepakati bersama. Easier said than done!

Tentunya bukan hal mudah. Namun, Universitas Yarsi percaya, sinergi adalah hal yang tidak dapat dihindari untuk unggul pada zaman ini.  “Seperti kata pepatah: “If you want to go fast, go alone. If you want to go far, go together.” Tutup Pak Chandra, (Usman)