Wakaf produktif pada sektor pertanian dan perkebunan sudah dilakukan. Salah satunya oleh Pondok Modern Darussalam Gontor. Pondok Modern Darussalam Gontor diserahkan oleh para pendirinya kepada Badan Wakaf, menandakan bahwa para wakif telah melepaskan hak milik pribadi mereka untuk selamanya demi kepentingan Islam, umat Islam, dan pendidikan Islam. Dengan demikian, status Pondok Modern Darussalam Gontor secara resmi beralih dari kepemilikan pribadi menjadi milik institusi, yang diwakili oleh Badan Wakaf. Untuk memelihara dan mengembangkan aset wakaf tersebut, tanggung jawab sepenuhnya diserahkan kepada Yayasan Pengelola Pondok Modern (YPPWPM). Dalam pengelolaan tanah wakaf tersebut, terdapat aset yang bersifat produktif dan non-produktif. Aset tanah non-produktif dikelola dengan membangun fasilitas yang digunakan sebagai tempat interaksi pendidikan antara guru dan murid, sesuai dengan tujuan Pondok Modern Darussalam Gontor. Sementara itu, aset tanah produktif dikelola untuk sektor pertanian. YPPWPM Gontor menerapkan tiga sistem kerja sama dalam pengembangan tanah wakaf di sektor pertanian.
Pertama, Pengembangan tanah wakaf dengan sistem sewa lahan. Jenis tanah yang dikembangkan untuk sektor pertanian adalah tanah kosong yang basah, yang cocok dijadikan lahan pertanian. Salah satu strategi yayasan dalam mengembangkan tanah wakaf ini adalah melalui sistem sewa lahan. Yayasan bekerja sama dengan petani atau penggarap yang ingin mengelola tanah tersebut melalui kontrak sewa. Jenis tanaman yang ditanam umumnya adalah padi, tergantung pada jenis tanah yang disewa. Tanah yang berbentuk lereng ditanami pohon jeruk. Sementara itu, tanah di daerah Ponorogo, Nganjuk, dan Kediri ditanami padi, dan hanya sebagian kecil tanah di Ngawi yang ditanami tebu.
Kedua, pengembangan tanah wakaf dengan pengelolaan sendiri. Bentuk kedua dari pengembangan tanah wakaf adalah dengan pengelolaan secara mandiri. Artinya, pihak yayasan sebagai nazir langsung mengelola tanah wakaf tersebut. Lahan wakaf ini ditanami dengan pohon durian di daerah Trenggalek dan kebun kelapa sawit di daerah Jambi. Sementara itu, tanah wakaf yang berada di sekitar pondok ditanami dengan padi. Di setiap daerah, terdapat petugas yang bertanggung jawab untuk mengawasi dan mengontrol proses pengelolaan tanah serta tanaman yang ditanam. Setiap bulan, mereka wajib melaporkan kepada yayasan pusat mengenai hasil keuangan dan kebutuhan operasional yang diperlukan. Yayasan mempekerjakan tenaga profesional untuk mengelola lahan tersebut, mulai dari proses penanaman, perawatan, hingga waktu panen. Semua kebutuhan operasional difasilitasi oleh pihak yayasan. Hasil dari tanaman tersebut kemudian dikelola oleh yayasan untuk mendukung pengembangan dan perluasan Pondok Modern Darussalam Gontor.
Ketiga, pengembangan tanah wakaf dengan sistem bagi hasil. Mayoritas tanah yang dikelola berupa sawah, yang terletak di daerah Ngawi. Yayasan bekerja sama dengan masyarakat sekitar untuk mengelola lahan tersebut, sebagai salah satu implementasi dari orientasi Gontor yang berfokus pada kemasyarakatan. Pengembangan tanah wakaf ini diarahkan pada sektor pertanian. Selanjutnya, tanah wakaf tersebut didistribusikan oleh nazir kepada masyarakat dalam bentuk lahan pertanian yang harus dikelola dengan optimal. Pendistribusian ini dilakukan dengan sistem bagi hasil antara kedua belah pihak melalui akad muzara’ah. Dalam hal ini, yayasan sebagai pemilik lahan menyediakan segala kebutuhan untuk penggarapan sawah, termasuk benih, alat bajak atau traktor, pengairan, dan obat-obatan. Sementara itu, masyarakat berperan sebagai pengelola lahan.
Sistem bagi hasil ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama, yaitu 50% dari hasil bersih setelah panen untuk penggarap sawah dan 50% untuk disumbangkan kepada Pondok Modern Darussalam Gontor, guna mendukung pengembangan pembelajaran di pondok tersebut. Sumbangan ini selanjutnya akan dikelola oleh YPPWPM untuk keperluan maslahat umat, seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi di Pondok Gontor. Setiap minggunya, diadakan pengajian untuk para penggarap sawah, yang juga diisi dengan pengarahan oleh pimpinan pondok. Kegiatan ini berfungsi sebagai media pengawasan, evaluasi, dan koordinasi dengan para petani. Selain itu, yayasan juga bekerja sama dengan para penggarap sawah dalam memilih benih padi yang terbaik dan berkualitas, dengan harapan agar hasil panen padi memiliki kualitas tinggi dan dapat dijual dengan harga yang baik, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan pondok dan hasil sektor pertanian.
Contoh penerapan strategi pendanaan ini dapat ditemukan dalam wakaf tanah pertanian. Pertanian memiliki karakteristik unik dalam pembagian total produksi, tanpa sepenuhnya memperhitungkan nilai pokok tetap yang diberikan kepada petani. Sebagai tambahan, petani juga menanggung sebagian dana seperti biaya benih, pupuk, obat serangga, dan pekerja yang disewa, selain menyediakan modal tetap seperti cangkul dan sapi untuk membajak. Dengan demikian, tanah akan dikembalikan kepada pemiliknya setelah musim tanam, meskipun pertumbuhan tanaman mungkin lambat. Sapi dan cangkul juga akan dikembalikan setelah akad selesai, misalnya dalam satu tahun, meskipun sapi sudah membesar dan cangkul sudah menua. Hasil panen keseluruhan kemudian dibagi berdasarkan kesepakatan dan kontribusi masing-masing pihak (Kasdi, 2021).
Contoh lain dari pendanaan berbasis wakaf adalah pendirian Bank Wakaf Tani. Aset wakaf sepenuhnya disediakan oleh Kementerian Pertanian. Dengan memberikan pendampingan secara intensif kepada kelompok tani, Kementerian Pertanian bersama dengan kelompok tani mendirikan Bank Wakaf Tani. Sasaran utama Bank Wakaf Tani ini adalah para petani yang kurang mampu. Untuk mengakses dana dari Bank Wakaf Tani, para petani dapat mengajukan pembiayaan dengan skema bagi hasil mudharabah yang telah disepakati (Istiqomah et al., 2019). Wakaf lahan dan wakaf tunai dapat dijadikan alternatif subsidi tersebut. Lebih dari itu, konsep pemberdayaan pertanian yang menggunakan dana wakaf sebagai sumber pendanaannya dapat menciptakan pemberdayaan yang berkelanjutan dan meningkatkan pendapatan petani.
Wakaf dapat berfungsi sebagai mekanisme perlindungan lahan untuk mencegah konversi lahan, serta sebagai modal dasar yang mendukung sektor pertanian melalui berbagai jenis kontrak, seperti muzara’ah, mukhabarah, bai’ salam, dan ijarah. Kontrak-kontrak ini dapat mengintensifkan kegiatan pertanian produktif dengan distribusi keuntungan yang lebih luas, menjadikan wakaf produktif sebagai elemen penting dalam memperkuat sistem ketahanan pangan nasional. Optimalisasi potensi wakaf, didukung oleh zakat, infak, dan sedekah, diharapkan dapat menjadi alternatif model penguatan sistem ketahanan pangan yang ada serta memberikan dampak positif terhadap ketersediaan dan aksesibilitas stok pangan bagi masyarakat.
Untuk melindungi lahan pertanian pangan berkelanjutan yang terancam oleh alih fungsi lahan, metode wakaf istibdal dapat diterapkan. Metode ini melibatkan pertukaran harta wakaf baik sejenis
maupun tidak sejenis. Dengan metode ini, wakaf tanah dapat dimutasi untuk dijadikan lahan pertanian. Strategi ini diharapkan dapat mengurangi konversi lahan dan mempertahankan wakaf tanah yang sebelumnya tidak dimanfaatkan (Eriawan & Masruchin, 2021).
Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf menyatakan bahwa pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf harus dilakukan secara produktif, sebagaimana tercantum dalam pasal 43 ayat (2). Pengembangan wakaf produktif mengacu pada hasil pengelolaan wakaf yang dapat meningkatkan jumlah atau luas harta wakaf, bahkan menciptakan harta benda wakaf baru (Adam et al., 2022).
Nurul Huda/ Wakil Rektor IV Universitas YARSI/Ketua Lembaga Wakaf MES/Ketua Umum ILUNI UI KWTTI