MUSIBAH BANJIR SUMATERA DAN HUTAN WAKAF

Nurul huda

Hatma Suryatmojo, Peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi DAS UGM menyatakan bencana banjir bandang di akhir November 2025 sejatinya bukan peristiwa yang berdiri sendiri. Bahkan para ahli menilai fenomena ini merupakan bagian dari pola berulang bencana hidrometeorologi yang kian meningkat dalam dua dekade terakhir. Kombinasi faktor alam dan ulah manusia berperan di baliknya. “Curah hujan memang sangat tinggi kala itu, BMKG mencatat beberapa wilayah di Sumut diguyur lebih dari 300 mm hujan per hari pada puncak kejadian. Curah hujan ekstrem ini dipicu oleh dinamika atmosfer luar biasa, termasuk adanya Siklon Tropis Senyar yang terbentuk di Selat Malaka pada akhir November 2025. Namun, cuaca ekstrem hanyalah pemicu awal. Dampak merusak banjir bandang tersebut sesungguhnya diperparah oleh rapuhnya benteng alam di kawasan hulu.

Kerusakan ekosistem hutan di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS), dalam pandangan Hatma, telah menghilangkan daya dukung dan daya tampung ekosistem hulu untuk meredam curah hujan tinggi. Hilangnya tutupan hutan berarti hilang pula fungsi hutan sebagai pengendali daur air kawasan melalui proses hidrologis intersepsi, infiltrasi, evapotranspirasi, hingga mengendalikan erosi dan limpasan permukaan yang akhirnya memicu erosi masif dan longsor yang menjadi cikal bakal munculnya banjir bandang. Padahal, menurutnya, hutan di wilayah hulu DAS berperan vital sebagai penyangga hidrologis. Vegetasi hutan yang rimbun ibarat spons raksasa yang menyerap air hujan ke dalam tanah dan menahannya agar tidak langsung terbuang ke sungai. Berbagai hasil penelitian di hutan tropis alami di Kalimantan dan Sumatera menunjukkan kemampuan hutan untuk menahan dan menampung air hujan di tajuk (intersepsi) mencapai 15-35% dari hujan. Sementara itu dengan permukaan tanah yang tidak terganggu, mampu memasukkan air ke dalam tanah (infiltrasi) hingga 55 persen dari hujan, sehingga limpasan permukaan (surface runoff) yang mengalir ke badan sungai hanya tersisa 10-20 persen saja. Belum lagi kemampuan hutan untuk mengembalikan air ke atmosfer melalui proses evapotranspirasi yang bisa mencapai 25-40 persen dari total hujan.

Kerusakan ekologis di Sumatera memiliki kaitan erat dengan deforestasi yang melaju cepat dan konversi  lahan  di   daerah   tangkapan   air,   terutama   di   sepanjang   Bukit   Barisan.   “Terkait kerusakan lingkungan, itu berhubungan dengan bagaimana laju deforestasi di Sumatera yang termasuk tinggi di Indonesia. Dan ini berhubungan juga dengan konversi lahan di daerah tangkapan. Ketua Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, Muhammad Nur, misalnya menyatakan, maraknya pembalakan liar dan ekspansi perkebunan sawit menjadi biang kerok atau faktor utama bencana alam tersebut.

Dalam Islam, larangan merusak alam itu sudah jelas dilarang, karena akan berdampak luas yang merugikan umat manusia. Dalam QS : Al-A’raf ayat 56 “ anganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik. Menurut Quraish Shihab, dalam Tafsir Al-Misbah, Allah melarang manusia merusak bumi setelah menciptakannya dengan begitu indah, seimbang, dan penuh kasih sayang. Yang dimaksud dengan kerusakan di sini bukan hanya maksiat, tapi juga hal-hal yang mengganggu keharmonisan alam: seperti pencemaran lingkungan, pembakaran dan penebangan hutan liar, atau peperangan yang menghancurkan kehidupan. Allah menciptakan alam dengan penuh rahmat. Maka manusia, sebagai khalifah di bumi, punya tanggung jawab untuk merawat dan menjaganya, bukan sebaliknya, merusaknya demi kepentingan sesaat.

Hutan wakaf merupakan hutan yang dibangun di atas tanah wakaf. Wakaf akan menjamin kelestarian hutan karena wakaf tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan. Berdasarkan hukum wakaf ini, lahan yang telah diwakafkan menjadi hutan tidak boleh dikonversi ke sektor lain misalnya menjadi permukiman, tanah pertanian,perkebunan, maupun pertambangan. Hutan wakaf berawal dari wakif (pihak yang mewakafkan harta benda miliknya) baik berupa wakaf lahan ataupun wakaf uang yang nantinya akan dikelola dikembangkan oleh nadzir (pengelola wakaf) yang diperuntukkan sebagai hutan wakaf. Seorang wakif mempunyai wewenang untuk menentukan tujuan pemanfaatan aset yang akan diwakafkan tersebut, dan nazir berkewajiban untuk mengelola aset wakaf tersebut sesuai dengan tujuan yang ditentukan oleh wakif.

Pengelolaan kawasan hutan yang berstatus wakaf sepenuhnya diserahkan kepada nazir. Salah satu tantangan dalam pengelolaan wakaf adalah bahwa aset hutan sering memberikan manfaat yang kurang dari yang diharapkan. Masalah ini sering kali disebabkan oleh kurangnya profesionalisme nazir, yang mengakibatkan pengelolaan yang seadanya dan minim perencanaan. Untuk mengatasi hal ini, perekrutan nazir harus mempertimbangkan keahlian yang relevan, keterampilan yang memadai, dan profesionalisme sebagai syarat agar nazir dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Selain itu, salah satu penyebab kurangnya kemajuan dalam digitalisasi adalah belum adanya sistem informasi wakaf nasional yang solid untuk memberikan informasi tentang pengembangan aset wakaf, rendahnya penggunaan kanal digital, dan integrasi data wakaf nasional yang masih lemah, sehingga menghambat realisasi wakaf.

Hutan wakaf memiliki sejarah panjang sejak era Ottoman di Turki. Pada masa itu, terdapat empat jenis kepemilikan hutan: hutan milik negara seluas hingga 10 juta hektar, hutan wakaf seluas hingga 100.000 hektar, hutan kota seluas 146.000 hektar, dan hutan milik pribadi seluas 539.000 hektar (Sup, 2021).

Ada tiga hutan wakaf di Indonesia. Pertama, yaitu hutan wakaf di Jantho Aceh yang dibangun oleh sekelompok anak muda pecinta alam pada tahun 2012. Kedua, hutan wakaf Leuweung Sabilulungan di Kabupaten Bandung yang dikembangkan oleh Pemkab Bandung pada 2013, dan ketiga, hutan wakaf di Desa Cibunian Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor yang dikembangkan oleh Yayasan Yassiru pada tahun 2018. Selain bermanfaat untuk ekonomi, hutan wakaf juga dapat bermanfaat dalam aspek ekologis, sosial, kesehatan, pendidikan, dan spiritual (sarana dakwah). Dari aspek sosial, hutan wakaf sangat membantu penghidupan masyarakat yang membutuhkan, menyediakan ruang terbuka hijau yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam kegiatan sosial.

Implementasi hutan wakaf di Aceh terinspirasi oleh tindakan salah satu sahabat Nabi Muhammad, yaitu Utsman bin Affan, yang mewakafkan sumur untuk kepentingan umat. Peristiwa ini menjadi latar belakang munculnya gagasan untuk membentuk komunitas yang peduli terhadap hutan melalui instrumen wakaf. Dari gagasan ini, lahirlah komunitas hutan wakaf Aceh yang diberi nama “Hutan Tersisa,” yang bertujuan untuk mengampanyekan konsep hutan wakaf. Kegiatan komunitas ini bersifat sukarela, di mana setiap anggota masyarakat dapat berkontribusi sesuai dengan keahliannya masing-masing. Pendanaan untuk hutan wakaf dilakukan secara kolektif melalui penggalangan donasi.

Saat ini, terdapat lahan hutan wakaf seluas lima hektar yang terletak di Gampong Data Cut dan Jantho Lama, yang diperoleh melalui pengumpulan dana dari donatur komunitas hutan wakaf. Selain itu, BPN Jantho Aceh Besar juga berperan dalam menyediakan peta hasil pengukuran lahan hutan wakaf tersebut. Saat ini, lahan hutan wakaf ini masih dalam proses pengurusan akta wakaf di KUA Jantho, yang dilakukan oleh dua orang wakif sebagai perwakilan dari komunitas hutan wakaf. Ke depan jumlah hutan wakaf harus terus dikembangkan khususnya di kawasan Sumatera untuk lebih mengurangi dampak negatif Banjir yang terjadi saat ini. Keuntungan segelintir orang secara ekonomi berdampak pada korban jiwa dan harta seluruh masyarakat Sumatera khususnya Aceh, Sumut dan Sumbar.

Renungan kita bersama ” Kepada penduduk Madyan, Kami (utus) saudara mereka, Syuʻaib. Dia berkata, “Wahai kaumku, sembahlah Allah. Tidak ada bagimu tuhan (yang disembah) selain Dia. Sungguh, telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka, sempurnakanlah takaran dan timbangan, dan janganlah merugikan (hak-hak) orang lain sedikit pun. Jangan (pula) berbuat kerusakan di bumi setelah perbaikannya. Itulah lebih baik bagimu, jika kamu beriman (QS : Al- A’raf : 85)

 

Nurul Huda/Wakil Rektor Universitas YARSI/Ketua Lembaga Wakaf MES/Ketua Umum ILUNI UI KWTTI