Polio dan Paslon

Mulai awal minggu ini diselenggarakan Sub PIN (Pekan Imunisasi Nasional) Polio dengan sasaran imunisasi 8,4 juta anak di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kab Sleman Yogyakarta. Sementara pada 11 Januari 2024 WHO mempublikasi “Disease Outbreak News” yang berjudul “Circulating vaccine-derived poliovirus type 2 (cVDPV2) – Indonesia” yang menyebutkan 2 kasus terkonfirmasi cVDPV2 di negara kita, dari Kab Klaten dan Kab Pamekasan. Sebelumnya, antara Oktober 2022 sampai Februari 2023 di negara kita sudah ada pula 4 kasus cVDPV2, di Aceh dan Jawa Barat. Data lanjutan Kementerian Kesehatan menyebutkan ditemukannya 3 penyakit kasus lumpuh layu akut (“Acute flaccid paralysis/AFP”) yang disebabkan oleh Virus Tipe Dua, 2 kasus di Jawa Tengah dan Jawa Timur pada Desember 2023 serta 1 satu kasus lainnya di Jawa Timur pada Januari 2024.

Apakah VDPV

Baik kalau kita memahami apa maksudnya “Circulating vaccine-derived poliovirus type 2 (cVDPV2)” yang berulang kali terjadi di negara kita ini. “Vaccine-derived poliovirus” adalah situasi dimana galur/strain virus polio yang bermutasi dari galur/strain yang ada didalam virus polio yang diteteskan (“Oral Polio Virus OPV”). Seperti diketahui bahwa OPV mengandung virus polio yang dilemahkan, yang bila masuk ke sistem pencernaan maka akan membentuk imunitas dengan pembentukan antibodi. Nah, pada keadaan sangat jarang, galur/strain OPV dapat secara genetik berubah dan mungkin saja beredar di komunitas yang tidak mendapat vaksinasi polio secara lengkap, khususnya pada area yang higiene dan sanitasi buruk dan pemukiman kumuh padat. WHO menyebutkan bahwa makin rendah imunitas penduduk maka makin lama “vaccine-derived poliovirus” beredar dan makin bertambah kemungkinan perubahan genetiknya.

Lalu, pada keadaan yang sangat jarang maka “vaccine-derived poliovirus” ini dapat secara genetik berubah dan menyebabkan kasus lumpuh layu (“paralysis”) seperti yang sekarang terjadi di negara kita, gejalanya sama seperti kasus yang terinfeksi virus polio secara umumnya, yang disebut  “wild poliovirus”. Kalau kemudian kejadian “VDPV” ditemukan di dua daerah berbeda dalam jarak waktu setidaknya 2 bulan, dan ke dua nya terkait secara genetikal (“genetically linked”) maka itu menunjukkan bukti terjadinya penularan bersirkulasi di masyarakat, dan karena itu disebut sebagai  ‘circulating’ vaccine-derived poliovirus (cVDPV), seperti yang terjadi di beberapa daerah negara kita. Sama seperti virus penyebab polio – “wild poliovirus (WPV)” maka cVDPVs juga ada 3 tipe, (1,2 atau 3), dan WHO pada 11 Januari 2024 menyebutkan bahwa kejadian di Indonesia disebabkan oleh yang tipe 2, jadi namanya cVDPV2.

Polio Dunia sepanjang 2023

Pada 1988 sudah ada resolusi “World Health Assembly” yang juga diikuti Indonesia untuk eradikasi polio di dunia. Sesudah resolusi itu maka kasus akibat “wild poliovirus” (WPV) turun drastis, lebih dari 99%, dari sekitar 350.000 kasus di lebih dari 125 negara di tahun 1988 menjadi 6 kasus di 2021. Pada 2023 maka kasus polio akibat WPV hanya ada di 2 negara saja, Pakistan dan Afghanistan, demikian juga di awal 2024 ini. Dari  3 strain/galur WPV (tipe 1, 2 dan 3), maka yang tipe 2 sudah dieradikasi di dunia pada 1999 dan tipe 3 pada 2020. Selain ada beberapa kasus polio akibat WPV pada manusia di 2023 maka dilaporkan juga 82 temuan WPV di lingkungan. Sementara itu, jumlah kasus pada manusia akibat cVDPV2 juga terus menurun. Sepanjang 2023 ada 374 kasus terkonfirmasi cVDPV di dunia, 265 kasus cVDPV2 (termasuk 2 atau 3 kasus di negara kita) serta 109 kasus adalah cVDPV1.

Pada Desember 2023 WHO kembali menyatakan bahwa risiko penyebaran virus polio secara internasional tetap perlu diwaspadai, dan situasinya masih digolongkan sebagai “Public Health Emergency of International Concern (PHEIC)”, atau kedaruratan kesehatan global yang menjadi perhatian dunia. WHO kemudian membagi negara-negara di dunia dalam tiga kategori. Pertama, negara yang ada kasus WPV1, cVDPV1 atau cVDPV3, ke dua adalah negara yang punya kasus cVDPV2, dengan atau tanpa adanya penularan lokal dan ke tiga adalah negara yang sebelum ini (sampai 24 bulan sebelumnya) ada kasus WPV1 atau cVDPV. Indonesia masuk kategori ke dua, bersama 27 negara lainnya, antara lain Algeria, Botswana, Côte d’Ivoire, Guinea, Israel, Kenya, Malawi, Nigeria, Somalia, Tanzania, Yemen sampai ke Zimbabwe.

Untuk negara dalam kategori dua (termasuk Indonesia) ada lima rekomendasi WHO. Pertama, menyatakan sebagai “public health emergency”, untuk kita dapat diartikan sebagai KLB. Ke dua, melakukan investigasi penularan lokal dan ke tiga memproses ketersediaan vaksin novel OPV2 sesuai prosedur yang ada. Ke empat adalah meningkatkan cakupan imunisasi rutin, termasuk mempertimbangkan implementasi segera vaksinasi suntikan IPV2 dan juga bila mungkin mengintroduksi vaksin hexavalent. Yang terakhir, ke lima adalah mengintensifkan surveilan nasional serta berpartisipasi aktif dalam surveilan lintas batas, regional dan internasional

Debat Paslon

Kita semua mengikuti dengan cermat debat PasLon CaPres dan CaWaPres. Sudah banyak topik yang dibahas, hanya memang sayangnya topik kesehatan baru akan dibahas di debat kelima, yang terakhir pada 4 Februari 2024 bersama dengan 6 topik lainnya, yaitu teknologi informasi, peningkatan pelayanan publik, hoaks, intoleransi, pendidikan, kesehatan, dan ketenagakerjaan, mudah-mudahan topik kesehatan akan terpilih sebagai pertanyaan bagi para PasLon. Di sisi lain, dalam debat ke empat hari Minggu 21 Januari akan ada topik lingkungan hidup, yang juga tentu amat berkait dengan kesehatan.

Kejadian KLB polio sendiri memang tidak melibatkan kasus yang banyak, juga mungkin tidak menimbulkan dampak epidemiologi yang amat penting. Tetapi banyak aspek KLB Polio yang bisa jadi pelajaran dari kacamata kesehatan masyarakat dan bangsa, dan sebaiknya diangkat dalam debat PasLon CaPres dan CaWaPres kita, apalagi debat ke 4 dan 5 dilaksanakan pada saat KLB sedang terjadi. KLB Polio kita kali ini kembali menunjukkan bahwa kesehatan bukan hanya mengobati yang sudah jatuh sakit, tetapi juga harus memperkuat pelayanan kesehatan primer di pedesaan. Dari faktor penyebab terjadinya KLB Polio di atas maka disebutkan faktor higiene dan sanitasi serta pemukiman kumuh dan padat, yang kita kenal sebagai “social determinants of health – SDOH”, sesuatu yang baik kalau dibahas dalam debat ke empat dalam aspek lingkungan hidup. Vaksinasi polio jelas amat penting karena rendahnya cakupan mengakibatkan KLB kali ini, dan aspek penolakan vaksin karena berita hoaks juga seyogyanya di cakup oleh PasLon pemimpin bangsa sebagai salah satu topik di debat ke lima. Untuk topik kesehatan secara umum di debat ke lima, sekali lagi kita angkat peran penting promotif preventif yang benar-benar terimplementasi di lapangan. Kegiatan membangun rumah sakit internasional dengan alat amat canggih tentu bermanfaat,   tetapi upaya keras mencegah serta mencegah bersirkulasinya virus (seperti polio) atau bakteri penyebab penyakit di masyarakat harus jadi program utama para PasLon pula. Menangani beberapa penyakit dan masalah kesehatan tertentu tentu juga baik, tapi menjamin mereka yang sehat agar tetap sehat adalah salah satu sendi utama kesehatan, yang semoga menjadi perhatian penting PasLon CaPres dan Cawapres dalam program kerjanya.

Satu aspek lain, untuk polio kita dikategorikan dalam kelompok ke dua bersama 27 negara yang masih berkembang, tuberkulosis kita nomor urut ke dua di dunia, kita masih punya penyakit terabaikan seperti lepra dll, yang semuanya menunjukkan bahwa posisi kesehatan di dunia belum memuaskan, sehingga semoga perbaikan derajat kesehatan bangsa serta diplomasi kesehatan internasional juga menjadi perhatian penting para pemimpin bangsa yang akan kita pilih pada 14 Februari mendatang.

Prof Tjandra Yoga Aditama
Direktur Pascasarjana Universitas YARSI
(artikel ini sudah dimuat di Koran Rakyat Merdeka, 20 Januari 2024)