Prof. dr. Fasli Jalal, Ph.D. adalah Rektor Universitas YARSI yang baru 2 bulan menjabat mengungkapkan kekagumannya terhadap Univ. YARSI. Menurut sepengetahuannya Univ. YARSI merupakan salah satu dari sedikit universitas atau institusi pendidikan tinggi baik negeri maupun swasta di Indonesia yang punya dedicated Wakil Rektor bidang Pengabdian kepada Masyarakat. Hal itu disampaikannya saat memberikan sambutan dan arahan pada Konsinyering Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) Fakultas Kedokteran (FK) Univ. YARSI di Ruang Seminar Rektorat Univ. YARSI (Kamis, 4/4/2019).
“Mungkin bisa dihitung dengan jari, institusi pendidikan tinggi di Indonesia baik negeri maupun swasta yang mempunyai Wakil Rektor khusus yang mengurus Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) saja. Kalau ada, paling-paling digabungkan Penelitian dengan Pengabdian pada Masyarakat. Jarang yang didedikasikan khusus menjadi WR sendiri begini,” ujar Prof. Fasli yang dilantik menjadi Rektor di Univ. YARSI sejak 31 Januari 2019.
“Apalagi kita punya koordinator pengabdian (PkM) di setiap program studi. Itu potensi yang dahsyat sebetulnya, ada struktur kelembagaan yang didedikasikan khusus untuk PkM,” tambah Prof. Fasli.
Dalam sambutannya itu juga, sebelumnya Prof. Fasli menyampaikan kekhawatirannya karena lebih dari 50% tenaga kerja Indonesia cuma memiliki ijazah paling tinggi SMP. Sementara itu, masyarakat dewasa ini dituntut harus berhadapan dengan revolusi industri yang sangat dahsyat sekali perkembangannya. Susah membayangkan bagaimana kecanggihan-kecanggihan teknologi yang menggabungkan antara data-data yang dihasilkan secara fisik, digital, dan biologis dengan yang dikembangkan menggunakan teknologi digital. Integrasi ketiga unsur tersebut membuka peluang untuk mengembangkan berbagai kemungkinan bagi kemanusiaan dengan hasil yang luar biasa.
Negara Jepang sudah mulai mengembangkan bagaimana teknologi bisa lebih ramah terhadap manusia. Di saat masyarakat mereka sudah menua dan tenaga kerja semakin sedikit, Jepang mau mengambil kesempatan yang dimungkinkan oleh lompatan teknologi untuk mengatasi kedua hal tersebut. Pada akhirnya, masalah kekurangan SDM dan banyaknya orang-orang yang dianggap kurang produktif dan didera oleh berbagai beban termasuk beban penyakit, akan dibantu oleh kecanggihan teknologi. Mereka akan berada di depan dengan memperkenalkan kita pada dunia Society 5.0 (Five point Zero).
Dalam konteks itu Prof Fasli berkeinginan suatu saat nanti hal tersebut akan dibicarakan lebih mendalam. Beliau juga meminta agar hadirin untuk melihat beberapa informasi yang cukup baik mengenai revolusi industry 4.0 (Four point Zero), terutama yang berhubungan dengan kesehatan atau yang berimplikasi terhadap kesehatan, apalagi dengan penggunaan virtual reality, argumented reality, dan robot (artificial intelligence).
Kalau nanti hal itu bisa diskusikan, Prof Fasli menanyakan bagaimana FK. Univ. YARSI menyiapkan diri mahasiswa untuk menghadapi tantangan tersebut. Karena menurutnya, “kalau kita tentu sudah agak terlambat karena ‘gaptek’ (gagap teknologi) akan hal itu. Akan tetapi, fasilitasi tetap bisa kita lakukan untuk mahasiswa. Sebab, kita adalah orang-orang yang punya wisdom dan tahu bagaimana di lapangan yang mungkin bagi mereka adalah hal yang baru, tinggal lagi me-match antara mereka sebagai generasi millennial dengan teknologi ini dan memikirkan proses belajar-mengajarnya seperti apa yang perlu dijalani oleh mereka.
“Hari ini saya bersyukur karena kedokteran banyak sekali menjadi inisiator dan kreator. Kemaren, untuk pertama kali di Univ. YARSI, kita mencoba menjadikan karya-karya mahasiswa untuk disajikan di dalam forum akademik yang kita siapkan untuk kemudian dimasukkan prosiding sehingga memenuhi syarat Kemenristek Dikti setiap yang lulus harus mempublikasikan Skripsi mereka. Kita lihat mereka sudah mampu menyajikan, baik dalam bentuk presentasi maupun di poster, dan sudah dipublikasikan dalam bentuk prosiding dengan ISBN. Nanti ada buku hardcopy-nya dan ada buku dalam bentuk E-book yang bisa diakses oleh siapa saja,” jelas Prof. Fasli.
Prof Fasli meminta agar itu diteruskan ke semua fakultas supaya masing-masing memastikan bahwa sejak awal saat mencari judul mereka sudah tahu bahwa nanti akan mempresentasikan hasil skripsinya dalam salah satu forum ilmiah yang kredibel. Dalam hal itu pihak Univ. YARSI sudah menyiapkan dengan baik bagaimana nanti cara mempublikasikan minimal untuk masuk prosiding yang punya ISBN.
“Mudah-mudahan jika nanti ditandem dengan dosen, mana tahu sebagian dari mereka bersama dosennya bisa juga hadir di presentasi di forum-forum nasional maupun internasional,” kata Prof. Fasli.
“Kita akan mencari cara untuk menampilkan mereka di forum-forum dunia. Tapi tentu sangat tergantung pada konten apa yang mereka teliti sehingga bisa diminta menjadi invited speaker. Baik itu di forum-forum mahasiswa kedokteran nasional maupun dalam forum-forum mahasiswa kedodokteran tingkat dunia,” tambah Prof. Fasli.
Menyangkut hal konsinyering yang dilakukan FK, menurutnya, untuk bisa maju secara akademik di Indonesia saat ini, sebagai seseorang yang berfungsi sebagai akademisi, selain mengajar mereka wajib melakukan penelitian dan pengabdian pada masyarakat (tri dharma). Kemudian beliau menanyakan, apa yang bisa dilakukan dalam konteks pengabdian ini. Karena Indonesia bertumpu pada Tri Dharma Perguruan Tinggi yang secara tegas mengatakan ada tiga hal yang harus dilakukan oleh seorang dosen, yaitu mengajar, meneliti, dan mengabdi. Sedangkan di luar negeri tidak diharuskan setiap dosen melakukan pengabdian pada masyarakat. Bagi mereka ilmu yang dilahirkannya kemudian disampaikannya di mana-mana dan apakah dijadikan kebijakan atau tidak, itu namanya sudah pengabdian.
“Ini sebenarnya adalah beban yang tidak gampang bila diselaraskan dengan fungsi-fungsi kita di pendidikan tinggi. Oleh karena kita memang berada dalam sistem itu, maka mau-tidak mau harus kita laksanakan dan kita dituntut melakukan itu,” kata Prof. Fasli.
YARSI memiliki 93 dosen, berarti penelitiannya juga 93 setiap semester dan harus menunjukkan pula 93 pengabdian walaupun satu topik PkM bisa dilakukan oleh 2 (dua) sampai 3 (tiga) orang dosen. Jadi, untuk Akreditasi Prodi sekali 5 (lima) tahun FK. Univ YARSI harus mengumpulkan 2 kali 93 kali 5 PkM. Kalau tidak, akreditasi tertinggi untuk pengabdian tidak akan diperoleh.
Prof. Fasli menceritakan pula ketika menghadiri acara Musrenbang Kota Jakarta Timur. Prof. Fasli melihat tampaknya di pemerintahan Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta) ini mencoba agar Musrenbang itu mendengar masukan-masukan dari Civil Society. Mereka mengundang orang-orang pertuni, dan kader-kader dengan berbagai latar belakang organisasi seperti di bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial. Dimana Kepala-kepala Dinas dari berbagai bidang akan membantu kegiatan mereka. Wali kota merespon permintaan-permintaan atau kerjasama yang ditawarkan oleh salah satu urusan pemerintahan untuk bermitra atau menjawab kebutuhan masyarakat.
Kemudian Prof. Fasli menanyakan, sudahkah Univ. YARSI punya peta tentang kebutuhan di bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial yang diperlukan oleh masyarakat DKI. Gunanya agar nanti bisa memberikan masukan kepada DKI, bahwa kalau DKI ingin membangun dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan kegiatan sosial supaya “temuan kami” dengan evidence-based dari hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan interaksi melalui pengabdian masyarakat dapat menjadi masukan bagi Pemda DKI.
Misalnya di Jakarta Pusat, di Kecamatan Senen ini apakah FK YARSI punya bahan-bahan (data) itu. Seandainya punya, FK YARSI bisa menjadi peserta tahunan di dalam Musrenbang itu nanti. Malah sebelum Musrenbang-pun bisa minta pertemuan bilateral dengan mereka, karena YARSI punya pengetahuan dan pengalaman melakukan pemberdayaan pada masyarakat.
“Walaupun private, karena kita ini PTS (Perguruan Tinggi Swasta) sebetulnya kita semi publik, sebab kita institusi pendidikan. Artinya, kalau nanti kita punya profil misalnya Masalah Kesehatan di DKI, kemudian dari pengalaman melakukan pengabdian dalam menjawab sebagian masalah tersebut kita melakukan contohnya dengan kader Posyandu, pemberdayaan di Puskesmas atau masalah sistem rujukan sampai pada pembiayaan atau pada BPJS dan seterusnya. Kalau kita punya (data/bahan) maka kita bisa berdialog dengan Pemda DKI, apapun forum mereka, kita bisa dampingi,” jelas Prof. Fasli.
Prof Fasli berharap mudah-mudahan apa yang kita lakukan ini tidak lagi hanya karena keinginan perguruan tinggi, tapi karena kebutuhan dari masyarakat yang kita lihat. Jadi yang kita upayakan itu pasti sangat berharga, tapi juga mampu melihat secara makro kontribusi apa yang kita lakukan untuk perbaikan, kebijakan, pengembangan model-model program untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di DKI. (ART)