Minggu ini jurnal ilmiah internasional “Lancet Global Health” menurunkan artikel amat menarik tentang pentingnya skrining dan terapi pencegahan tuberkulosis. Penelitian ilmiah berskala besar ini didukung WHO, dan dilakukan di Brazil, Georgia, Kenya dan Afrika Selatan. Walaupun penelitiannya bukan di Indonesia tetapi menjadi amat penting untuk kita karena pengendalian tuberkulosis (TB) merupakan salah satu program prioritas dalam Asta Cita Presiden dan Wakil Presiden.
Artikel hasil penelitian ilmiah internasional mendapat bukti bahwa peningkatan kegiatan skrining dan pencegahan secara bersama-sama dapat mencegah kejadian TB sebesar 14% di Georgia, 15% di Brazil, 21% di Kenya dan 26% di Afrika Selatan, antara tahun 2024 dan 2025. Kalau yang hanya dilakukan adalah pengobatan pencegahan saja maka dampaknya akan sekitar sepertiga dari angka-angka ini, jadi memang harusnya ke duanya dilakukan bersama-sama.
Dari kacamata ekonomi, proyeksi hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 2024 sampai 2050 nanti maka setiap 1 US$ (dolar Amerika Serikat) yang diinvestasikan untuk meningkatkan skrining dan pencegahan tuberkulosis akan menghasilkan manfaat sosial (“social return”) yang secara ekonomik setara dengan 51 US$ di Brazil, 8 US$ di Georgia, 27 US$ di Kenya dan 54 US$ di Afrika Selatan.
Perlu kita kenal dulu tentang dua kegiatan penting ini. Pertama tentang skrining, yaitu berbagai upaya untuk menemukan kasus tuberkulosis yang meliputi identifikasi gejala, berbagai jenis tes cepat molekuler dan pemeriksaan ronsen dada apalagi yang dilengkapi dengan kecerdasan buatan (“artificial intelegence”). Skrining punya tiga manfaat utama, mendeteksi penyakit sejak dini, memutus rantai penularan dan melindungi mereka yang risiko tinggi tertular. Kegiatan penting ke dua adalah pencegahan, dalam bentuk pengobatan pencegahan (“preventive treatment”) yang perlu diberikan pada mereka dengan tuberkulosis laten, yaitu yang di dalam tubuhnya sudah ada kuman tuberkulosis tetapi belum menampilkan gejala sakit TB.
Sejalan dengan hasil penelitian internasional ini, dan juga bukti ilmiah lain yang ada yang sifatnya “evidence-based public policy”, maka tentu akan baik kalau program penanggulangan tuberkulosis di negara kita juga lebih memberi perhatian pada skrining dan pencegahan, dua aspek penting dalam pengendalian tuberkulosis kalau kita memang ingin eliminasi tuberkulosis pada tahun 2030.
Prof Tjandra Yoga Aditama
Direktur Pascasarjana Universitas YARSI / Adjunct Professor Griffith University
Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI)


