Sidang Itsbat, Masihkah Relevan?

Hari [Raya] Idul Fitri akan datang dalam beberapa hari. Telah menjadi perdebatan klasik dan panas selama bertahun-tahun tentang bagaimana memutuskan hari atau tanggal yang tepat dari awal Ramadhan dan sekaligus Lebaran. Secara umum diketahui bahwa pada dasarnya ada dua metode atau pendekatan untuk memutuskan tanggal penting ini. Pertama dengan menghitung atau katakanlah metode perhitungan (hisab). Dalam metode ini, tanggal atau hari sepenuhnya tergantung pada perhitungan yang dilakukan berdasarkan ilmu astronomi. Yang kedua adalah dengan cara penglihatan, yang juga dikenali sebagai rukyah, di mana tanggal atau hari ditentukan oleh pemandangan atau visi bulan baru atau bulan purnama (hilal). Jika bulan baru dapat dilihat setelah matahari terbenam pada hari sebelum Ramadhan dan / atau Syawal yang diproyeksikan, maka diputuskan bahwa Ramadhan / Syawal akan terjadi pada hari berikutnya. Jika hilal tidak dapat dilihat, maka ditetapkan bahwa Ramadhan akan selesai selama 30 hari. Atau, Sya’ban atau Ramadhan itu diperpanjang satu hari lagi.

Setiap kelompok pendukung memiliki alasan yang “kuat” mengapa metode tertentu dipilih dan diterapkan. Kelompok kedua – misalnya – mengacu pada alasan mereka pada hadits yang mengatakan lebih atau kurang: mulai (dan / atau) berhenti berpuasa ketika Anda melihat bulan sabit / hilal. Sementara kelompok pertama memiliki alasan berikut. Pertama, semangat yang diusung oleh Al-Quran pada dasarnya adalah metode perhitungan, karena Al-Qur’an sendiri menyebutkan beberapa indikator seperti dalam QS Ar-Rahman ayat 5.

Kedua, hadits yang dibahas oleh kelompok kedua pada dasarnya bersifat kontingent. Ini berarti bahwa itu hanya berlaku jika kondisi tertentu terpenuhi. Di antara kondisi-kondisi tersebut adalah bahwa jika masyarakat Muslim tidak memiliki pengetahuan yang cukup sehingga mereka tidak dapat melakukan perhitungan secara ilmiah. Dalam situasi saat ini, pengetahuan – terutama ilmu astronomi – telah berkembang begitu maju. Selain itu, begitu banyak Muslim sekarang memiliki keahlian pengetahuan dan keterampilan khusus ini. Dengan demikian, mereka dapat menghitung dengan benar dan akurat. Selama Nabi Muhammad (saw) berabad-abad mungkin kondisi ini tidak terpenuhi karena pengetahuan dan keterampilan pada saat itu belum berkembang, dan juga hampir tidak satu pun dari mereka telah memperoleh pengetahuan dan keahlian ini dengan baik.

Alasan ketiga adalah bahwa proses rukyah bukanlah kegiatan ibadah. Ini hanya alat, medium atau fasilitas. Alat, media atau fasilitas dapat diubah atau dikembangkan dari waktu ke waktu. Ibadah yang sesungguhnya adalah berpuasa itu sendiri. Tentu saja tidak bisa diubah sama sekali.

Alasan keempat adalah bahwa, rukyah secara serius menghalangi masyarakat Muslim pada umumnya dalam membuat perencanaan. Seperti yang diketahui, ketika rukyah diterapkan, kepastian awal atau akhir Ramadhan hanya dapat diketahui satu hari sebelumnya. Sementara menggunakan metode perhitungan, semuanya dapat diketahui dengan pasti lama sebelumnya. Oleh karena itu, seseorang dapat membuat perencanaan.

Alasan kelima adalah bahwa metode rukyah terbatas ruang lingkupnya. Mungkin di daerah-daerah tertentu bulan sabit dapat dilihat, tetapi tidak di daerah lain. Jika setiap orang membatasi dirinya/diri untuk melihat bulan purnama, maka awal dan akhir Ramadhan dapat berbeda dari satu tempat ke tempat lain.

Alasan keenam adalah bahwa rukyat sangat tergantung pada iklim. Di tempat-tempat di mana cuaca jelas dan bersih, mudah untuk melihat bulan sabit. Tetapi, di beberapa tempat lain di mana cuaca atau iklim mudah berubah, sangat sulit untuk melihat bulan sabit. Akhirnya, masalah lain adalah bahwa penetapan hari Arafah, di mana semua jamaah haji di seluruh dunia harus berkumpul sebagai salah satu rukun utama di Arafah sebagai program hajj wajib.

Alasan di atas lebih dari cukup untuk berpikir tentang menerapkan metode rukyah. Namun, selain alasan-alasan di atas, ada pertimbangan penting untuk kasus Indonesia.

Seperti yang diketahui, proses rukyah membutuhkan beberapa langkah. Pertama, penunjukan 124 titik atau tempat di seluruh negeri untuk melihat bulan sabit (ini tahun 2023). Kita bisa membayangkan berapa banyak orang yang terlibat. Jika di satu tempat ada 10 anggota tim, maka akan ada setidaknya 1.240 orang yang terlibat secara nasional. Setiap tim harus mengirimkan laporan ke Kementerian Agama (Kemenag). Tim besar di Jakarta kemudian harus meringkas laporan yang dikumpulkan dari berbagai lokasi nasional. Akhirnya, hasilnya akan diumumkan dalam pertemuan besar lainnya, yang dihadiri oleh banyak orang “penting” di Jakarta. Apa implikasi dari kegiatan ini?

Apa lagi selain anggaran besar yang harus disetujui dan akhirnya dikeluarkan. Sampai saat ini belum ada informasi yang terbuka atau diungkapkan oleh Kemenag RI. Perhitungan kasar akan menunjukkan bahwa anggaran untuk kegiatan ini bisa mencapai ratusan juta rupiah atau lebih. Bahkan mungkin jika anggaran menyentuh sekitar 1 miliar rupiah, per kali istbat. Kalau dua kali (awal dan akhir Ramadhan), maka jumlahnya tentu sedikitnya Rp. 2 Milyar

Ketika kita berpikir tentang efektivitas dan efisiensi, dan begitu banyak orang miskin di negara ini, maka sulit untuk menghindari kesimpulan bahwa pilihan rukyah tidak lagi bijak untuk diteruskan. Bukakah jauh lebih bermanfaat bahwa dana yang begitu besar digelontorkan untuk rukyah selama ini, diberikan kepada kaum fakir dan miskin. Sedang menentukan Ramadhan atau Syawal, cukup pakai hisab.

Wallahu a’lam bisshawab.

 

Muhammad Akhyar Adnan
Prodi Akuntansi, FEB
Universitas Yarsi