Polio kita, minggu lalu di WHO dan minggu ini SubPIN, dan harapan kesehatan untuk PasLon

Mulai minggu ini (15 Januari 2024) diselenggarakan Sub PIN (Pekan Imunisasi Nasional) Polio secara serentak, dengan sasaran imunisasi 8,4 juta anak di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kab Sleman Yogyakarta. Kalau kita lihat selanjutnya, minggu yang lalu (11 Januari 2024) WHO mempublikasi “Disease Outbreak News” yang berjudul “Circulating vaccine-derived poliovirus type 2 (cVDPV2) – Indonesia”. Disebutkan bahwa pada 20 dan 27 Desember 2023 Indonesia memberitahu WHO bahwa ada 2 kasus terkonfirmasi cVDPV2, satu dari Kab Klaten dan satunya dari Kab Pamekasan, Madura. Disebutkan bahwa sebelumnya Indonesia sudah pernah pula melaporkan 4 kasus cVDPV2 pada periode Oktober 2022 sampai February 2023, tiga diantanya terjadi di Aceh dan satu kasus di Jawa Barat. Data lanjutan di laman Sehat Negeriku disebutkan bahwa Kementerian Kesehatan mendapatkan laporan ditemukannya tiga penyakit kasus lumpuh layu akut (Acute flaccid paralysis/AFP) yang disebabkan oleh Virus Polio Tipe Dua. Dua kasus ditemukan di provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur pada Desember lalu sedangkan satu kasus lainnya ditemukan di Jawa Timur pada 4 Januari 2024. Baik kalau kita memahami apa maksudnya “Circulating vaccine-derived poliovirus type 2 (cVDPV2)” yang berulang kali terjadi di negara kita ini.

“Vaccine-derived poliovirus” adalah situasi dimana galur/strain virus polio yang bermutasi dari galur/strain yang ada didalam virus polio yang diteteskan (“Oral Polio Virus OPV”). Seperti diketahui bahwa OPV mengandung virus polio yang dilemahkan, yang bila masuk ke sistem pencernaan maka akan membentuk imunitas dengan pembentukan antibodi. Nah, pada keadaan sangat jarang, galur/strain OPV dapat secara genetik berubah dan mungkin saja beredar di komunitas yang tidak mendapat vaksinasi polio secara lengkap, khususnya pada area yang higiene dan sanitasi buruk. WHO menyebutkan bahwa makin rendah imunitas penduduk maka makin lama “vaccine-derived poliovirus” beredar dan makin bertambah kemungkinan perubahan genetiknya.

Lalu, pada keadaan yang sangat jarang maka “vaccine-derived poliovirus” ini dapat secara genetik berubah dan menyebabkan kasus lumpuh layu (“paralysis”) seperti yang sekarang terjadi di negara kita, gejalanya sama seperti kasus yang terinfeksi virus polio secara umumnya, yang disebut  “wild poliovirus”. Kalau kemudian kejadian “vaccine-derived poliovirus (VDPV)” ditemukan di dua daerah berbeda dalam jarak waktu setidaknya 2 bulan, dan ke dua nya terkait secara genetikal (“genetically linked”) maka itu menunjukkan bukti terjadinya penularan bersirkulasi di masyarakat, dan karena itu disebut sebagai  ‘circulating’ vaccine-derived poliovirus (cVDPV), seperti yang terjadi di beberapa daerah negara kita. Sama seperti virus penyebab polio – “wild poliovirus” maka cVDPVs juga 3 tipe, (1,2 or 3), dan Disease Outbreak News WHO 11 Januari 2024 menyebutkan bahwa kejadian di Indonesia disebabkan oleh yang tipe 2, jadi namanya cVDPV2. Semoga kejadian cVDPV yang kini terjadi dapat segera ditangani, dan semoga dilakukan program yang tepat agar kejadian serupa tidak terjadi lagi di masa datang.

Semoga juga para PasLon CaPres dan Cawapres kita memberi perhatian penting dalam program kerjanya untuk kesehatan bangsa, selain yang sudah amat banyak di bahas tentang politik, hukum, ekonomi, pertahanan dll. Kejadian Polio kita dalam bentuk cVDPV ini kembali menunjukkan bahwa kesehatan bukan hanya mengobati yang sudah jatuh sakit, bukan hanya membangun rumah sakit internasional, tetapi juga harus memperkuat pelayanan kesehatan primer di pedesaan, mewujudkan higiene dan sanitasi , perumahan yang layak (yang termasuk dalam “Social determinants of health – SDOH”) melakukan kegiatan promotif preventif antara lain dengan vaksinasi serta mencegah bersirkulasinya virus atau bakteri penyebab penyakit.

Prof Tjandra Yoga Aditama
Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI